Kamis, 12 Juni 2008

Pancasila Jaminan Keragaman dan Persatuan

Pancasila Jaminan Keragaman dan Persatuan
Tim liputan KBR 68h
01-06-2006


Politik identitas belakangan semakin menguat. Dengan mengatasnamakan agama atau suku, orang dengan mudah menyerang orang lain, terutama mereka yang berbeda dan dianggap bukan bagiannya. Pemisahan semakin menguat dan munculnya gerakan menerapkan syariat Islam di sejumlah tempat, membuat berbagai kalangan resah. Untuk menangkal ide ini, sejumlah kalangan mengajak masyarakat kembali kepada Pancasila.

Mars Pancasila terlupakan
Dulu, lagu Mars Pancasila sering terdengar. Bagaimana tidak, tiap upacara Senin, lagu ini selalu dikumandangkan. Mulai murid SD hingga para pegawai negeri wajib menghapal lagu Pancasila. Tapi kini keadaan telah berubah.

Walau masih kerap dinyanyikan, misalnya dalam upacara kenegaraan, sebagian besar masyarakat mulai melupakan lagu ini. Aris, seorang penjual soto ayam adalah contohnya. Setelah meninggalkan bangku sekolah tahun 2001, Aris mengaku tak pernah lagi menyanyikan lagu Pancasila. Liriknya pun kini sudah mulai terlupakan.

Aris: 'Terakhir? Wah gua gak tau nih. Lupa gua bener. Udah lama soalnya gua nganggur. Abis sekolah. Sekitar tahun 2001. Abis itu nganggur. (Sejak 2001 gak pernah nyanyiin lagi ya?) Iya. Lupa kayanya. Hapal sih sedikit-sedikit'.

Penyakit lupa juga menghinggapi Lia, seorang karyawan swasta di Jakarta. Maklum, sejak lulus SD pada tahun 1980an, Lia mengaku tidak pernah menyanyikan lagu wajib nasional ini.

Lia: (Terakhir mbak menyanyikan lagu ini kapan? ) 'SD (itu berapa tahun yang lalu?) saya lulus tahun 1980-an…(SMP, SMA itu gak pernah nyanyi lagi?) enggak pernah'.

Pancasila, termasuk marsnya, memang tengah kehilangan pamor. Sejak Soeharto dilengserkan delapan tahun silam banyak kalangan malu bicara soal lima dasar negara ini. Sejarawan Anhar Gonggong bisa memahami hal ini, dan itu karena ulah presiden-presiden Soekarno dan Soeharto yang memperalat Pancasila, dan memaksakannya melalui indoktrinasi.

Anhar Gonggong: 'Saya kira ada benarnya orang melupakan Pancasila, bahkan orang malu membicarakannya. Dan itu merupakan salah satu kelemahan. Tapi persoalannya juga terletak pada bahwa dua kekuasaan baik Soekarno maupun Soeharto tidak pernah merumuskan secara serius dan kemudian merealitaskannya. Saya menggunakan istilah Bung Karno merealitaskan apa yang disebut Pancasila itu. Mereka membuat indoktrinasi manipol usdek, kemudian BP 7. Itu semua kan retorika-retorika yang kemudian mengaburkan pemahaman Pancasila itu sendiri'.

Kembali menemukan makna
Sementara, bekas menteri pendidikan dan kebudayaan Fuad Hasan menilai, Pancasila terlanjur menjadi cap Orde Baru, sehingga dikait-kaitkan dengan zaman penindasan. Namun kini, demikian Fuad Hasan, Pancasila seolah kembali menemukan makna. Keragaman agama dan budaya menurut Fuad, bisa disatukan lewat Pancasila.

Fuad Hasan: 'Nah coba dilihat, tujuannya ialah mempunyai satu wawasan ideologis ya. Bung Karno menyebutnya dengan berbagai macam istilah, Weltanschauung dan sebagainya, yang menggalang kebersamaan Indonesia. Jadi Pancasila itu sebagai payung yang bisa menggalang kebersamaan kita sebagai bangsa. Secara ideologis ya. Sekarang mulai mudar, memudar gitu'.

Pemugaran Pancasila
Di tengah anggapan sudah lagi tidak menarik, ternyata ada juga upaya mempertahankan bahkan menghidupkan kembali dasar negara ini. Salah satunya dilakukan oleh Robertus Robert, anggota kelompok kerja perhimpunan pendidikan demokrasi. Bersama rekan-rekannya, Robert mencoba memugar kembali nilai-nilai Pancasila.

Robertus Robert: 'Enggan dengan Pancasila, karena apa, karena Pancasila itu pernah dipakai secara tidak benar di era Soeharto. Nah di titik ini ya, selain kita butuh Pancasila, kita juga butuh apa yang disebut restorasi Pancasila. Pemugaran kembali Pancasila. Kenapa disebut restorasi atau pemugaran? Karena pemugaran itu kan kita membetulkan kembali apa-apa yang rusak. Mengembalikan dia pada aslinya. Ini Pancasila kita perlukan untuk ita pugar kembali. Sehingga dia aktual untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan berdemokrasi sekarang ini'.

Selain sangat dibutuhkan untuk berdemokrasi, Pancasila, kata Robert, juga bisa untuk menangkal keinginan sebagian kelompok mengubah Indonesia menjadi negara Islam.

Terbelah dalam banyak hal
Pengamat Politik Daniel Sparingga menjelaskan sila ketiga Persatuan Indonesia adalah penanda kemajemukan. Sila ini, menurut Daniel mengingatkan bangsa Indonesia supaya terus bersatu padu dalam sebuah persatuan.

Kini, sila ketiga Pancasila terancam oleh gagasan sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam. Menurut Sparingga, ancaman perpecahan bangsa terlihat misalnya dalam kasus pro kontra Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi & Pornoaksi.

Daniel Sparingga: 'Dalam banyak perkara kita terbelah. Terbelah bahkan hitam putih, kiri dan kanan. Misalnya walaupun itu bisa disamarkan, ditutup-tutupi, dengan cara yang terang-terangan atau agak tersamar, percakapan, perdebatan tentang RUU pornografi dan pornoaksi jelas satu isu yang membelah bangsa ini, lebih serius dari yang pernah dikatakan atau disadari. Saya kira national unity itu merupakan salah satu yang tengah mengalami ancaman yang serius'.

Upaya sistematis mengganti dasar negara
Cendekiawan muslim Dawam Rahardjo bahkan menilai ada upaya sistematis untuk mengganti dasar negara. Dawam menuding kelompok Islam garis keras sedang berupaya menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, dengan menerapkan syariat lewat pelbagai peraturan, baik di tingkat daerah maupun di pusat.

Dawam Rahardjo: 'Misalnya dewasa ini ya telah terjadi perpecahan, pengingkaran hak-hak sipil. Termasuk misalnya pemberangusan terhadap kebebasan beragama. Dan kemudian demokrasi itu hanya jadi demokrasi yang prosedural formal dan lain sebagainya, tapi tidak menengok pada nilai dan sebagainya'.

1 Juni tanggal lahir Pancasila
Sebagai dasar negara, Pancasila lahir 1 Juni 1945. Hanya berselang dua bulan sebelum kemerdekaan. Konsepsi ideologi negara ini dicetuskan Soekarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, BPUPKI. Seperti biasa hal-hal yang berbau Soekarno tidak diakui oleh Soeharto. Selama lebih dari 30 tahun Orde Baru, sejarawan dan penatar P4 tidak berani menyatakan 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila. Ketika sekarang Pancasila kembali dirindukan orang, mungkin sudah tiba saatnya untuk mengingat-ingat tanggal 1 Juni sebagai hari lahirnya.

Tim Liputan KBR 68h Melaporkan untuk Radio Nederland di Hilversum.

Tidak ada komentar: