Jumat, 20 Juni 2008

Reaktualisasi Pancasila

Reaktualisasi Pancasila
Kamis, 23 Agustus 2007

SILA artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal, dan abadi...demikian pidato Bung Karno mengenai calon dasar negara Pancasila, 1 Juni 1945.

Maka, salah satu dosa Orde Baru ialah: mereka membuat rakyat sekarang merasa tak nyaman ketika harus mengaitkan suatu tema pembicaraan dengan Pancasila. Seolah-olah jika kita membahas suatu masalah dengan perspektif Pancasila, misalnya ekonomi sesuai Pancasila, kesannya seperti menjadi juru bicara Orde Baru lagi.

Pasalnya, selama rezim Orba, Pancasila dijadikan instrumen untuk membungkam aspirasi atau ide alternatif rakyat. Caranya, semua ide atau kemauan penguasa diberi stempel Pancasila. Misalnya demokrasi Pancasila, ekonomi Pancasila, Pendidikan Moral Pancasila, dan seterusnya.
Sebaliknya, segala ide lain dari masyarakat acap dinilai tidak Pancasilais, bahkan distigmatisasi sebagai subversif, desiden, atau bahaya ekstrem kanan dan kiri. Pancasila dijadikan ideologi tertutup. Padahal, jika kita cermati, justru perilaku penguasa Orba sendiri yang sejatinya sangat tidak Pancasilais: korup, otoriter, dan acap menindas rakyat dengan kekerasan.

Walhasil, ketika era reformasi bergulir, Pancasila tetap aman sebagai dasar negara. Tapi ia jarang disebut-sebut, jarang dibicarakan lagi, dan karena itu juga jarang dijadikan rujukan pembuatan kebijakan (policy making) para penyelenggara negara. Pancasila menjadi seperti barang antik: dipajang dan kadang dibanggakan, tapi substansinya tak lagi dicoba diimplementasikan dalam kenyataan. Ia dianggap sesuatu yang kuno atau bagian dari masa lalu saja.

Kecenderungan demikian itu menyedihkan. Sebab, sebagai dasar filsafat negara atau pandangan hidup bangsa, Pancasila mestinya menjadi sumber rujukan abadi bagi perjuangan bangsa dan negara ini. Tentu yang dimaksud bukanlah versi butir-butir Pancasila ala Orde Baru (P4) yang menjadi sarana merepresi warga negara. Akan tetapi, ialah Pancasila dalam Pembukaan UUD 45, yang uraian sistematisnya disampaikan bapak bangsa, Bung Karno, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni1945.

Panduan Bernegara

Patut diketahui, meski secara formal baru disampaikan 1 Juni 1945, bukan berarti Pancasila ialah gagasan instan yang tak terpikirkan secara matang. Bung Karno di depan BPUPKI menjelaskan, ia telah memikirkan dasar negara Pancasila 27 tahun lamanya: “...saya berjuang sejak 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk weltanschauung (Pancasila) itu... Pancasila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun,” katanya.
Tapi, sayang, Pancasila lalu direduksi rezim Orde Baru menjadi sebatas panduan akhlak rakyat (P4) atau sebagai senjata politik penindas oposisi. Padahal mestinya, sebagai dasar negara, Pancasila ialah panduan akhlak bernegara, perilaku lembaga-lembaga negara, dan interaksi antarwarga negara. Akhlak rakyat sebagai pribadi sudah diatur masing-masing agama warga negara.

Maka, kinilah saatnya Pancasila kita kembalikan menjadi panduan perilaku bernegara dan rujukan pembuatan kebijakan publik. Dalam konteks ini, kita dapat memandang gerakan reformasi 1998 sebagai upaya aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam dataran kenyataan.
Kenapa? Sebab, agenda reformasi yang diperjuangkan para mahasiswa dan aktivis pada 1998 hakikatnya sesuai Pancasila sebagai dasar negara. Misalnya ihwal pencabutan dwifungsi ABRI dan amandemen UUD 45 searah asas kedaulatan rakyat atau demokrasi dalam sila keempat. Pemberantasan KKN sejalan kaidah demokrasi ekonomi sila kelima. Pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya merupakan upaya memelihara tetap langgengnya persatuan bangsa dalam sila ketiga, dan seterusnya.

Karenanya, arah perjalanan bangsa di segala bidang ke depan pun tak boleh lepas dari kerangka pandang Pancasila. Pancasila harus kembali menjadi paradigma atau kriteria penilai, apakah arah reformasi berada pada jalur yang benar (on the right track) atau belum. Termasuk di sini Pancasila juga menjadi ukuran untuk mengkritisi masa lalu.
Dalam reformasi ekonomi, misalnya, kita patut bertanya apakah kebijakan pemerintah saat ini yang amat properdagangan bebas, privatisasi, minimalisasi subsidi, dan seperangkat resep neoliberal lainnya, sesuai prinsip keadilan sosial atau demokrasi ekonomi. Jika tak sesuai, lalu perekonomian macam apa yang dikehendaki dasar negara kita? Saat ini, lantaran sedang menjadi tren dunia, seolah hanya perdagangan bebas yang menjadi kebenaran tunggal dan nyaris tiada yang mempertanyakannya.

Semasa Orde Baru sama saja. Dulu koperasi kerap disebut sokoguru perekonomian Pancasila, kendati nyatanya praktek ekonomi lebih bersifat kapitalisme kroni yang berbasis korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sementara koperasi juga sering menjadi sarang korupsi pengurusnya dan sarana mengeksploitasi para anggotanya.

Di sinilah tugas kita: mencari formula sistem ekonomi yang tak cuma mengejar kemakmuran individual tapi juga berkeadilan sosial. Suatu sistem yang, menurut Bung Karno, tak hanya menjamin kesetaraan politik, tapi juga kesejahteraan bersama. Suatu sistem yang menjanjikan demokrasi politik sekaligus demokrasi ekonomi.

Proses Menjadi

Sebagai dasar negara, menurut Bung Karno, Pancasila –seperti ideologi lainnya— ialah gagasan ideal (teori) yang harus terus diperjuangkan implementasinya dalam kenyataan (praksis). Dengan kata lain, apa yang disebut dasar negara atau pandangan hidup Pancasila adalah proses yang menjadi (dinamis), bukan sesuatu yang sudah jadi (statis).
Pancasila ibarat cita-cita tinggi di langit, yang dengan tetesan keringat, air mata, bahkan darah, harus kita upayakan menjadi kenyataan di bumi Indonesia. Prinsip kerakyatan atau demokrasi sila keempat, misalnya, baru betul-betul dapat kita rasakan kehadirannya setelah 32 tahun Orde Baru berkuasa. Itu pun setelah puluhan tahun harus terus diperjuangkan para aktivis yang berpuncak dengan gerakan mahasiswa dan rakyat pada 1998, lengkap dengan korban nyawa para anak bangsa. []

Sumber: http://www.ariabimanews.com/index.php?option=com_content&task=view&id=44&Itemid=27

Tidak ada komentar: