Jumat, 13 Juni 2008

Kontroversi Hari Lahir Pancasila

Akhiri Kontroversi Lahirnya Pancasila
Oleh
Asvi Warman Adam

Pada 1 Juni 2006 -hari ini- Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) akan berpidato tentang lahirnya Pancasila di Balai Sidang Jakarta. Apakah dengan acara itu, kontroversi lahirnya Pancasila akan berakhir? Apakah berarti nama baik Bung Karno otomatis sudah direhabilitasi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melakukan kilas balik.

Rekayasa sejarah lahirnya Pancasila berlangsung sejak awal Orde Baru untuk mengecilkan jasa Soekarno dan melebih-lebihkan peran Soeharto. Selain memberi legitimasi historis kepada Jenderal Soeharto, itu dilakukan untuk menghilangkan peluang bagi pendukung (ajaran) Soekarno tampil di kancah politik nasional.

Terkait dengan 1 Juni 1945 saat Soekarno berpidato tentang dasar negara yang dinamainya Pancasila, M. Yamin telah berpidato sebelum Bung Karno. Supomo pun disebutkan telah menguraikan soal dasar negara. Bahkan, pada buku-buku sejarah yang digunakan di sekolah, Pancasila merupakan karya seluruh bangsa Indonesia sejak zaman purbakala hingga masa sekarang.

Sejak 1 Juni 1970, Kopkamtib melarang peringatan lahirnya Pancasila. Pada 22 Juni tahun yang sama, mantan Presiden Soekarno wafat. Sejarawan Prancis Jacques Leclerc mengatakan bahwa pada hakikatnya, Bung Karno telah dibunuh dua kali. Secara fisik, dia dalam status "tahanan rumah" tidak dirawat sebagaimana semestinya sehingga kesehatannya terus memburuk dan akhirnya meninggal, sedangkan pemikirannya dilarang untuk didiskusikan.

Kontroversi lahirnya Pancasila itu dimulai pada awal Orde Baru dengan terbitnya buku tipis Nugroho Notosusanto berjudul "Naskah Proklamasi jang otentik dan Rumusan Pancasila jang otentik" (Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan-Keamanan, 1971).

Dalam buku itu, Nugroho mengatakan bahwa ada empat rumusan Pancasila. Yaitu, yang disampaikan Muh. Yamin (29 Mei 1945), Soekarno (1 Juni 1945), berdasar hasil kerja Tim Sembilan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta (22 Juni 1945), dan sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 (18 Agustus 1945). Menurut Nugroho, rumusan Pancasila yang otentik adalah rumusan 18 Agustus 1945 karena Pancasila yang termasuk dalam pembukaan UUD 1945 itu dilahirkan secara sah (yakni berlandaskan proklamasi) pada 18 Agustus 1945.

Pada akhir leaflet itu, Nugroho menandaskan: "Kiranya tidak perlu lahirnya Pancasila itu kita kaitkan kepada seorang tokoh secara mutlak. Sebab, lahirnya sesuatu gagasan sebagai sesuatu yang abstrak memang tidak mudah ditentukan dengan tajam. Yang dapat kita pastikan adalah saat pengesahan formal dan resmi suatu dokumen".

Manuver sejarah yang pada awalnya bersumber dari Pusat Sejarah ABRI itu kemudian ditentang sejarawan dan pelaku sejarah. A.B. Kusuma dalam makalah berjudul Menelusuri Dokumen Historis Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan berdasar notulen yang telah ditemukan kembali 1989 mengatakan, tidak benar bahwa Muh. Yamin yang pertama mengungkapkan dasar negara Pancasila. Hal itu kemudian ditegaskan dalam buku A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta, 2004).

Yamin sendiri dalam bukunya mengakui Soekarno sebagai penggali Pancasila. Panitia Lima yang diketuai Hatta juga mengakui Sukarno yang pertama berpidato tentang Pancasila. Ada pula sejarawan, seperti Dr Anhar Gonggong, yang masih ragu-ragu untuk menyatakan bahwa Soekarno sebagai penggali Pancasila. Menurut Anhar, Soekarno sangat berperan dalam tiga peristiwa yang berhubungan dengan proses lahirnya Pancasila, yaitu 1 Juni, 22 Juni, dan 18 Agustus 1945.

Pada ketiga kejadian itu, Soekarno menduduki posisi penting (1 Juni sebagai penyampai pidato, 22 Juni sebagai ketua Tim Sembilan yang melahirkan Piagam Jakarta, dan 18 Agustus 1945 sebagai ketua PPKI yang kemudian dipilih secara aklamasi sebagai presiden RI.

Tokoh Pertama

Berdasar uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Soekarno memang tokoh yang pertama menyampaikan Pancasila sebagai dasar negara. Ada tokoh-tokoh lain yang berbicara sebelumnya, tetapi hanya Soekarno yang secara eksplisit menyampaikan gagasan tentang Pancasila, termasuk nama Pancasila itu sendiri sebagai dasar negara. Formulasi Pancasila yang disampaikan Soekarno, 1 Juni 1945, setelah melalui dinamika pembicaraan di antara founding fathers kita, dirumuskan menjadi Pancasila seperti yang kita kenal sekarang, yang tidak sama persis rumusan/urutannya dengan yang disampaikan Bung Karno pada 1 Juni 1945.

Peringatan lahirnya Pancasila setiap 1 Juni seyogianya tidak lagi mempersoalkan kontroversi yang diciptakan pada era Orde Baru, melainkan lebih memusatkan perhatian tentang penerapan ideologi pada semua bidang kehidupan bangsa. Bagaimana cara meyakinkan segenap komponen bangsa bahwa Pancasila adalah ideologi yang paling tepat bagi bangsa kita?

Pancasila memberi tempat kepada semua agama, golongan, dan suku bangsa. Tidak ada yang tersisih. Kalau mau memilih ideologi lain, itu pasti menimbulkan friksi dan ketakutan bagi golongan yang tidak setuju.

Seyogianya, 1 Juni ditetapkan sebagai salah satu hari besar nasional dan dinyatakan hari libur. Bukan berarti, itu menambah hari libur secara keseluruhan. Namun, kami berpendapat bahwa hari-hari besar yang ada selama ini perlu ditinjau ulang. Hari libur yang merupakan peringatan keagamaan mungkin dapat dikurangi, sedangkan peringatan yang bersifat kebangsaan ditambah (termasuk Hari Pahlawan 10 November).

Jangan Mengultuskan

Dalam kesempatan memperingati lahirnya Pancasila, sebaiknya, kita berniat tidak mengultuskan seseorang. Kita menghargai jasa Soekarno sebagai penggali Pancasila, sungguhpun rumusan Pancasila yang sekarang kita gunakan adalah hasil rumusan kolektif bapak-bapak pendiri bangsa. Kita tidak boleh lagi melakukan kultus individu.

Bila lahirnya Pancasila 1 Juni diperingati setiap tahun, itu dapat menghilangkan salah satu kontroversi sejarah yang diciptakan rezim Orde Baru. Namun, bukan berarti nama baik Soekarno telah dipulihkan. Pelecehan terhadap Soekarno tampak dalam TAP MPRS No XXXIII/1967 tentang pengalihan kekuasaan terhadap Soeharto.

Kita tidak menggugat pengalihan kekuasaan tersebut karena itu telah terjadi. Tetapi, konsiderans yang menyebutkan Soekarno melakukan kebijakan yang "menguntungkan G-30-S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G-30-S/PKI" perlu dipertanyakan.

Kalau diakui bahwa G30S/1965 itu merupakan gerakan kudeta untuk menggulingkan Presiden Soekarno, kenapa Soekarno justru memihak dan melindungi pelakunya? Ketika Soekarno masih menjadi presiden, apakah masuk akal dia membantu kelompok yang ingin menggulingkan dirinya sendiri. Perlu direhabilitasi nama baik sang proklamator kemerdekaan.

Dr Asvi Warman Adam, sejarawan, ahli peneliti utama LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) di Jakarta.

Posting lain mengenai kontroversi 1 Juni lihat blog berikut:
http://yudhitc.wordpress.com/2008/05/29/kontroversi-buku-yamin/

http://jbahonar.blogspot.com/2008/04/kontroversi-1-juni-1945.html

Tidak ada komentar: