Selasa, 24 Juni 2008

MELURUSKAN SEJARAH

MELURUSKAN SEJARAH
Oleh: Syamsu Hadi

Orang bilang, bulan Juni adalah bulan-nya Bung Karno. Coba saja perhatikan: tanggal 6 Juni (1901) Bung Karno dilahirkan, tanggal 2 Juni (1970) beliau wafat. Dan yang tidak boleh dilupakan, pada tanggal 1 Juni (1945) Bung Karno menyampaikan pidato tentang Pancasila, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

BPUPKI terdiri dari sekitar 60 tokoh penting bangsa Indonesia dari berbagai lapisan masyarakat. Di antaranya terdapat nama-nama Dr. Radjiman Wediodiningrat, Ki Hadjar Dewantara, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim, dan K.H. Masykur.

Usulan Bung Karno mengenai dasar negara itu mendapat sambutan hangat dari para anggota BPUPKI. Setelah Bung Karno usai berpidato, Ki Hadjar Dewantara minta bicara dan beliau menganjurkan kepada seluruh sidang: "Saudara-saudara sekalian, mari kita terima seluruhnya apa yang diusulkan oleh Bung Karno ini." Padahal Ki Hadjar Dewantara sebelumnya mengusulkan beberapa dasar negara yang lain.

Pancasila akhirnya ditetapkan sebagai dasar negara Republik Indonesia, dan sampai kini tidak ada yang berniat mengubahnya. Kedudukannya sangat penting dalam mempersatukan bangsa Indonesia yang bersifat majemuk itu. Dan seperti kalian telah belajar dari pelajaran sejarah di sekolah, berbagai gerakan yang bersifat anti-Pancasila hancur dengan sendirinya. Contohnya pemberontakan Madiun dan Gerakan 30 September 1965 yang dilakukan kaum komunis. Demikian juga gerakan anti-Pancasila yang dilakukan DI/TII.

Begitu hebatnya Pancasila, sampai di zaman Orde Baru ditetapkan Hari Kesaktian Pancasila. Tetapi sekalipun menganggap Pancasila itu sakti, rezim Orde Baru tidak mau mengakui bahwa Pancasila merupakan hasil pemikiran Bung Karno. Rezim Soeharto berusaha mendiskreditkan Bung Karno dengan mengatakan Pancasila tidak dilahirkan pada tanggal 1 Juni 1945, tetapi 18 Agustus 1945.

Di zaman Orde Baru Pancasila tidak ubahnya barang antik. Ia disanjung-sanjung, tetapi juga di pihak lain dipeti-eskan, tidak boleh diutik-utik. Semua orang harus ikut penataran tentang Pancasila, yang sebenarnya untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru. Bung Karno dicoba disingkirkan dari lembaran sejarah Indonesia, termasuk sebagai pencipta Pancasila.

Konseptor penyelewengan sejarah Pancasila itu adalah Nugroho Notosusanto, yang karena jasanya itu kemudian dipromosikan sebaga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam bukunya berjudul "Naskah Proklamasi yang Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik", Nugroho mengatakan, materi gagasan Pancasila pertama kali dikemukakan oleh Mr. Muhammad Yamin pada sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945. Sementara Ir. Sukarno mengetengahkan gagasan dan nama/istilah Pancasila dalam sidang tanggal 1 Juni 1945, yang berarti kalah dulu dari Yamin. "Teori" Nugroho itu kemudian juga dituangkan dalam bukunya yang lain, "Proses Perumusan Pancasila Dasr Negara".

Nugroho yang guru besar Metode Sejarah di Universitas Indonesia itu mengemukakan "teori"-nya setelah meneliti asal-usul rumusan Pancasila dasar Negara melalui kredibilitas sumber. Tapi lucunya yang dipakai sebagai sumber primer adalah buku Prof. Mr. Muh. Yamin, "Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945" jilid 1. Banyak pihak yang meragukan kredibilitas buku tersebut, karena Yamin tidak mengeditnya, tetapi juga membuang banyak bagian, sehingga notulen itu terasa tidak asli lagi. Bahkan Bung Hatta yakin, pidato itu diselipkan Yamin, dan tidak dibacakan dalam sidang BPUPKI. Celakanya lagi Nugroho tidak memperdulikan kenyataan , bahwa Yamin sendiri dalam bukunya yang lain, "Sistema Filsafah Pantja Sila", mengakui "1 Juni 1945 diucapkan pidato pertama tentang Pancasila" oleh Bung Karno.

Justru Nugroho mengatakan, "rumusan Pancasila yang otentik dan sah, yakni rumusan 18 Agustus 1945". Coba bayangkan, apakah tidak membingungkan jalan pikiran Nugroho ini. Ia berpendapat "lahirnya" Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 saat disahkan Undang-Undang Dasar 1945. Padahal ia mengakui sendiri, dalam UUD '45 itu tidak terdapat istilah Pancasila.

Syukurlah, sebagai kata pepatah, yang busuk akan berbau juga, kelicikan Yamin akhirnya terbongkar. Notulen sidang BPUPKI yang dikenal sebagai "Koleksi Pringgodigdo" ditemukan pada Algemeene Rijksarchief di Den Haag. Sementara di perpustakaan Puri Mangkunegaran, Solo, ditemukan arsip yang dikenal sebagai "Koleksi Muhammad Yamin". Dan seperti diduga, pidato Yamin tanggal 29 Mei 1945 yang menurut Prof. Nugroho "materi gagasan Pancasila pertama kali dikemukakan oleh Mr. Muh. Yamin", ternyata tidak ada.

Tetapi dalam edisi trakhir "Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)", yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia (1995) rezim Orde Baru dengan tanpa malu masih memuat pidato Yamin yang fiktif tu, dengan penjelasan "Naskah Pidato Mr. M. Yamin tidak ditemukan dalam 'Koleksi Mr. M. Yamin' maupun 'Koleksi Pringgodigdo' yang tersimpan di Arsip Nasional". Begitulah, sebuah kebohongan sejarah telah disebarkan oleh instansi resmi di republik ini.

http://www.yayasanbungkarno.or.id/artikel-sejarah.php

Jumat, 20 Juni 2008

Reaktualisasi Pancasila

Reaktualisasi Pancasila
Kamis, 23 Agustus 2007

SILA artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal, dan abadi...demikian pidato Bung Karno mengenai calon dasar negara Pancasila, 1 Juni 1945.

Maka, salah satu dosa Orde Baru ialah: mereka membuat rakyat sekarang merasa tak nyaman ketika harus mengaitkan suatu tema pembicaraan dengan Pancasila. Seolah-olah jika kita membahas suatu masalah dengan perspektif Pancasila, misalnya ekonomi sesuai Pancasila, kesannya seperti menjadi juru bicara Orde Baru lagi.

Pasalnya, selama rezim Orba, Pancasila dijadikan instrumen untuk membungkam aspirasi atau ide alternatif rakyat. Caranya, semua ide atau kemauan penguasa diberi stempel Pancasila. Misalnya demokrasi Pancasila, ekonomi Pancasila, Pendidikan Moral Pancasila, dan seterusnya.
Sebaliknya, segala ide lain dari masyarakat acap dinilai tidak Pancasilais, bahkan distigmatisasi sebagai subversif, desiden, atau bahaya ekstrem kanan dan kiri. Pancasila dijadikan ideologi tertutup. Padahal, jika kita cermati, justru perilaku penguasa Orba sendiri yang sejatinya sangat tidak Pancasilais: korup, otoriter, dan acap menindas rakyat dengan kekerasan.

Walhasil, ketika era reformasi bergulir, Pancasila tetap aman sebagai dasar negara. Tapi ia jarang disebut-sebut, jarang dibicarakan lagi, dan karena itu juga jarang dijadikan rujukan pembuatan kebijakan (policy making) para penyelenggara negara. Pancasila menjadi seperti barang antik: dipajang dan kadang dibanggakan, tapi substansinya tak lagi dicoba diimplementasikan dalam kenyataan. Ia dianggap sesuatu yang kuno atau bagian dari masa lalu saja.

Kecenderungan demikian itu menyedihkan. Sebab, sebagai dasar filsafat negara atau pandangan hidup bangsa, Pancasila mestinya menjadi sumber rujukan abadi bagi perjuangan bangsa dan negara ini. Tentu yang dimaksud bukanlah versi butir-butir Pancasila ala Orde Baru (P4) yang menjadi sarana merepresi warga negara. Akan tetapi, ialah Pancasila dalam Pembukaan UUD 45, yang uraian sistematisnya disampaikan bapak bangsa, Bung Karno, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni1945.

Panduan Bernegara

Patut diketahui, meski secara formal baru disampaikan 1 Juni 1945, bukan berarti Pancasila ialah gagasan instan yang tak terpikirkan secara matang. Bung Karno di depan BPUPKI menjelaskan, ia telah memikirkan dasar negara Pancasila 27 tahun lamanya: “...saya berjuang sejak 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk weltanschauung (Pancasila) itu... Pancasila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun,” katanya.
Tapi, sayang, Pancasila lalu direduksi rezim Orde Baru menjadi sebatas panduan akhlak rakyat (P4) atau sebagai senjata politik penindas oposisi. Padahal mestinya, sebagai dasar negara, Pancasila ialah panduan akhlak bernegara, perilaku lembaga-lembaga negara, dan interaksi antarwarga negara. Akhlak rakyat sebagai pribadi sudah diatur masing-masing agama warga negara.

Maka, kinilah saatnya Pancasila kita kembalikan menjadi panduan perilaku bernegara dan rujukan pembuatan kebijakan publik. Dalam konteks ini, kita dapat memandang gerakan reformasi 1998 sebagai upaya aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam dataran kenyataan.
Kenapa? Sebab, agenda reformasi yang diperjuangkan para mahasiswa dan aktivis pada 1998 hakikatnya sesuai Pancasila sebagai dasar negara. Misalnya ihwal pencabutan dwifungsi ABRI dan amandemen UUD 45 searah asas kedaulatan rakyat atau demokrasi dalam sila keempat. Pemberantasan KKN sejalan kaidah demokrasi ekonomi sila kelima. Pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya merupakan upaya memelihara tetap langgengnya persatuan bangsa dalam sila ketiga, dan seterusnya.

Karenanya, arah perjalanan bangsa di segala bidang ke depan pun tak boleh lepas dari kerangka pandang Pancasila. Pancasila harus kembali menjadi paradigma atau kriteria penilai, apakah arah reformasi berada pada jalur yang benar (on the right track) atau belum. Termasuk di sini Pancasila juga menjadi ukuran untuk mengkritisi masa lalu.
Dalam reformasi ekonomi, misalnya, kita patut bertanya apakah kebijakan pemerintah saat ini yang amat properdagangan bebas, privatisasi, minimalisasi subsidi, dan seperangkat resep neoliberal lainnya, sesuai prinsip keadilan sosial atau demokrasi ekonomi. Jika tak sesuai, lalu perekonomian macam apa yang dikehendaki dasar negara kita? Saat ini, lantaran sedang menjadi tren dunia, seolah hanya perdagangan bebas yang menjadi kebenaran tunggal dan nyaris tiada yang mempertanyakannya.

Semasa Orde Baru sama saja. Dulu koperasi kerap disebut sokoguru perekonomian Pancasila, kendati nyatanya praktek ekonomi lebih bersifat kapitalisme kroni yang berbasis korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sementara koperasi juga sering menjadi sarang korupsi pengurusnya dan sarana mengeksploitasi para anggotanya.

Di sinilah tugas kita: mencari formula sistem ekonomi yang tak cuma mengejar kemakmuran individual tapi juga berkeadilan sosial. Suatu sistem yang, menurut Bung Karno, tak hanya menjamin kesetaraan politik, tapi juga kesejahteraan bersama. Suatu sistem yang menjanjikan demokrasi politik sekaligus demokrasi ekonomi.

Proses Menjadi

Sebagai dasar negara, menurut Bung Karno, Pancasila –seperti ideologi lainnya— ialah gagasan ideal (teori) yang harus terus diperjuangkan implementasinya dalam kenyataan (praksis). Dengan kata lain, apa yang disebut dasar negara atau pandangan hidup Pancasila adalah proses yang menjadi (dinamis), bukan sesuatu yang sudah jadi (statis).
Pancasila ibarat cita-cita tinggi di langit, yang dengan tetesan keringat, air mata, bahkan darah, harus kita upayakan menjadi kenyataan di bumi Indonesia. Prinsip kerakyatan atau demokrasi sila keempat, misalnya, baru betul-betul dapat kita rasakan kehadirannya setelah 32 tahun Orde Baru berkuasa. Itu pun setelah puluhan tahun harus terus diperjuangkan para aktivis yang berpuncak dengan gerakan mahasiswa dan rakyat pada 1998, lengkap dengan korban nyawa para anak bangsa. []

Sumber: http://www.ariabimanews.com/index.php?option=com_content&task=view&id=44&Itemid=27

Selasa, 17 Juni 2008

HARI LAHIR PANCASILA, 1 JUNI 1945

Untag-Net Menjelang kekalahannya di akhir Perang Pasifik, tentara pendudukan Jepang berusaha menarik dukungan rakyat Indonesia dengan membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mendapat giliran untuk menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia Merdeka, yang dinamakannya Pancasila. Pidato yang tidak dipersiapkan secara tertulis terlebih dahulu itu diterima secara aklamasi oleh segenap anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai.

Selanjutnya BPUPKI membentuk Panitia Kecil untuk merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar dengan berpedoman pada pidato Bung Karno itu. Dibentuklah Panitia Sembilan (terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, HA Salim, Achmad Soebardjo dan Muhammad Yamin) yang bertugas : Merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara berdasar pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dan menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Demikianlah, lewat proses persidangan dan lobi-lobi akhirnya Pancasila penggalian Bung Karno tersebut berhasil dirumuskan untuk dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, yang disahkan dan dinyatakan sebagai dasar negara Indonesia Merdeka pada tanggal 18 Agustus 1945.

Dalam kedudukan sebagai pemimpin bangsa, Bung Karno tidak pernah melepaskan kesempatan untuk tetap menyosialisasikan Pancasila. Lewat bebagai kesempatan, baik pidato, ceramah, kursus, dan kuliah umum, selalu dijelas-jelaskannya asal-usul dan perkembangan historis masyarakat dan bangsa Indonesia, situasi dan kondisi yang melingkupinya, serta pemikiran-pemikiran dan filosofi yang menjadi dasar dan latar belakang "lahirnya" Pancasila. Juga selalu diyakin-yakinkannya tentang benarnya Pancasila itu sebagai satu-satunya dasar yang bisa dijadikan landasan membangun Indonesia Raya dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke, yang merdeka dan berdaulat penuh, demokratis, adil-makmur, rukun-bersatu, aman dan damai untuk selama-lamanya.

Meskipun telah menjadi dasar negara dan filsafat bangsa, pada sidang-sidang badan pembentuk Undang-Undang Dasar (Konstituante) yang berlangsung antara tahun 1957 sampai dengan 1959, Pancasila mendapat ujian yang cukup berat. Tapi berkat kuatnya dukungan sebagian besar rakyat Indonesia, lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Pancasila tetap tegak sebagai dasar negara dan falsafah bangsa Indonesia.

Tetapi ternyata pihak neo-kolonialis dan pihak yang anti-Pancasila tidak tinggal diam. Setelah meletusnya G30S pada tahun 1965, tidak hanya Sukarno yang harus "diselesaikan" dan "dipendhem jero", bukan hanya Republik Proklamasi yang harus diberi warna dan diperlemah, tetapi juga roh bangsai yang bernama Pancasila itu harus secara halus dan pelan-pelan ditiadakan dari bumi Indonesia.

Dengan melalui segala cara dilakukanlah upaya untuk menghapuskan nama Sukarno dalam kaitannya dengan Pancasila. Misalnya, dinyatakan tanggal 18 Agustus 1945 sebagai hari lahir Pancasila, bukan 1 Juni 1945. Demikian juga disebutkan, konsep utama Pancasila berasal dari Mr. Muh. Yamin, yang berpidato lebih dahulu dari Bung Karno.

Tetapi kebenaran tidak bisa ditutup-tutupi untuk selamanya. Ketika pemerintah Belanda menyerahkan dokumen-dokumen asli sidang BPUPKI, terbuktilah bahwa pidato Yamin tidak terdapat di dalamnya. Dengan demikian gugur pulalah teori bahwa Yamin adalah konseptor Pancasila. Maka polemik mengenai Pancasila pun berakhir dengan sendirinya.

Tapi sebagai akibat akumulatif dari polemik Pancasila itu, akhirnya orang menjadi skeptis terhadap Pancasila, kabur pemahaman dan pengertian-pengertiannya, dan menjadi tidak yakin lagi akan kebenarannya. Pancasila semakin hari semakin redup, semakin sayup, tak terdengar lagi gaung dan geloranya.

Apalagi bersamaan dengan kampanye "menghabisi" Bung Karno itu dipropagandakan tekad untuk melaksanakan Pancasila "secara murni dan konsekuen". Padahal di balik kampanye itu, sistem dan praktek-praktek yang dilaksanakan justru penuh ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kekejaman, penindasan dan penginjak-injakan hak asasi manusia; penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme; penuh dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan tindakan-tindakan yang anti-demokrasi dan a-nasional. Kesemuanya itu akhirnya membawa bangsa ini serba terpuruk dan mengalami krisis di segala bidang (krisis multidimensional) yang menyengsarakan rakyat dan mengancam kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang sangat jauh dari cita-cita segenap bangsa Indonesia.

Yang menyedihkan, krisis itu menimbulkan kesimpulan, bahwa yang salah selama ini adalah dasar negara dan falsafah bangsa Pancasila, dan bukannya kesalahan pelaksana atau dalam pelaksanaannya.

Menyadari akan semuanya itu, maka dirasa sangat perlu untuk menyebarluaskan kembali Pancasila ajaran Bung Karno ke segenap lapisan masyarakat dan terutama generasi muda Indonesia, agar kita semua bisa memahaminya secara utuh, meyakini akan kebenarannya, dan siap untuk memperjuangkan dan melaksanakannya.

Untuk itu dalam himpunan ini, selain pidato Lahirnya Pancasila, juga disertakan ceramah, kursus atau kuliah umum yang pernah diberikan oleh Bung Karno dalam berbagai kesempatan. Misalnya kursus-kursus Pancasila yang berlangsung selama beberapa bulan di Jakarta, ceramah pada seminar Pancasila di Yogyakarta, dan pidato peringatan Pancasila di Jakarta.

Kami yakin, bahwa kehadiran sebuah buku yang berisi pidato "Lahirnya Pancasila" beserta rangkaian uraian yang menjelaskannya, yang berasal dari tangan pertama ini akan sangat diperlukan oleh segenap putera tanah air yang terus berusaha menjaga dan mengisi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Semoga bermanfaat.

Ditulis di Jakarta, 11 Maret 2005, Penghimpun : Drs. Soewarno, melalui situs Yayasan Bung Karno di http://www.yayasanbungkarno.or.id

Jumat, 13 Juni 2008

Kontroversi Hari Lahir Pancasila

Akhiri Kontroversi Lahirnya Pancasila
Oleh
Asvi Warman Adam

Pada 1 Juni 2006 -hari ini- Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) akan berpidato tentang lahirnya Pancasila di Balai Sidang Jakarta. Apakah dengan acara itu, kontroversi lahirnya Pancasila akan berakhir? Apakah berarti nama baik Bung Karno otomatis sudah direhabilitasi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melakukan kilas balik.

Rekayasa sejarah lahirnya Pancasila berlangsung sejak awal Orde Baru untuk mengecilkan jasa Soekarno dan melebih-lebihkan peran Soeharto. Selain memberi legitimasi historis kepada Jenderal Soeharto, itu dilakukan untuk menghilangkan peluang bagi pendukung (ajaran) Soekarno tampil di kancah politik nasional.

Terkait dengan 1 Juni 1945 saat Soekarno berpidato tentang dasar negara yang dinamainya Pancasila, M. Yamin telah berpidato sebelum Bung Karno. Supomo pun disebutkan telah menguraikan soal dasar negara. Bahkan, pada buku-buku sejarah yang digunakan di sekolah, Pancasila merupakan karya seluruh bangsa Indonesia sejak zaman purbakala hingga masa sekarang.

Sejak 1 Juni 1970, Kopkamtib melarang peringatan lahirnya Pancasila. Pada 22 Juni tahun yang sama, mantan Presiden Soekarno wafat. Sejarawan Prancis Jacques Leclerc mengatakan bahwa pada hakikatnya, Bung Karno telah dibunuh dua kali. Secara fisik, dia dalam status "tahanan rumah" tidak dirawat sebagaimana semestinya sehingga kesehatannya terus memburuk dan akhirnya meninggal, sedangkan pemikirannya dilarang untuk didiskusikan.

Kontroversi lahirnya Pancasila itu dimulai pada awal Orde Baru dengan terbitnya buku tipis Nugroho Notosusanto berjudul "Naskah Proklamasi jang otentik dan Rumusan Pancasila jang otentik" (Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan-Keamanan, 1971).

Dalam buku itu, Nugroho mengatakan bahwa ada empat rumusan Pancasila. Yaitu, yang disampaikan Muh. Yamin (29 Mei 1945), Soekarno (1 Juni 1945), berdasar hasil kerja Tim Sembilan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta (22 Juni 1945), dan sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 (18 Agustus 1945). Menurut Nugroho, rumusan Pancasila yang otentik adalah rumusan 18 Agustus 1945 karena Pancasila yang termasuk dalam pembukaan UUD 1945 itu dilahirkan secara sah (yakni berlandaskan proklamasi) pada 18 Agustus 1945.

Pada akhir leaflet itu, Nugroho menandaskan: "Kiranya tidak perlu lahirnya Pancasila itu kita kaitkan kepada seorang tokoh secara mutlak. Sebab, lahirnya sesuatu gagasan sebagai sesuatu yang abstrak memang tidak mudah ditentukan dengan tajam. Yang dapat kita pastikan adalah saat pengesahan formal dan resmi suatu dokumen".

Manuver sejarah yang pada awalnya bersumber dari Pusat Sejarah ABRI itu kemudian ditentang sejarawan dan pelaku sejarah. A.B. Kusuma dalam makalah berjudul Menelusuri Dokumen Historis Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan berdasar notulen yang telah ditemukan kembali 1989 mengatakan, tidak benar bahwa Muh. Yamin yang pertama mengungkapkan dasar negara Pancasila. Hal itu kemudian ditegaskan dalam buku A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta, 2004).

Yamin sendiri dalam bukunya mengakui Soekarno sebagai penggali Pancasila. Panitia Lima yang diketuai Hatta juga mengakui Sukarno yang pertama berpidato tentang Pancasila. Ada pula sejarawan, seperti Dr Anhar Gonggong, yang masih ragu-ragu untuk menyatakan bahwa Soekarno sebagai penggali Pancasila. Menurut Anhar, Soekarno sangat berperan dalam tiga peristiwa yang berhubungan dengan proses lahirnya Pancasila, yaitu 1 Juni, 22 Juni, dan 18 Agustus 1945.

Pada ketiga kejadian itu, Soekarno menduduki posisi penting (1 Juni sebagai penyampai pidato, 22 Juni sebagai ketua Tim Sembilan yang melahirkan Piagam Jakarta, dan 18 Agustus 1945 sebagai ketua PPKI yang kemudian dipilih secara aklamasi sebagai presiden RI.

Tokoh Pertama

Berdasar uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Soekarno memang tokoh yang pertama menyampaikan Pancasila sebagai dasar negara. Ada tokoh-tokoh lain yang berbicara sebelumnya, tetapi hanya Soekarno yang secara eksplisit menyampaikan gagasan tentang Pancasila, termasuk nama Pancasila itu sendiri sebagai dasar negara. Formulasi Pancasila yang disampaikan Soekarno, 1 Juni 1945, setelah melalui dinamika pembicaraan di antara founding fathers kita, dirumuskan menjadi Pancasila seperti yang kita kenal sekarang, yang tidak sama persis rumusan/urutannya dengan yang disampaikan Bung Karno pada 1 Juni 1945.

Peringatan lahirnya Pancasila setiap 1 Juni seyogianya tidak lagi mempersoalkan kontroversi yang diciptakan pada era Orde Baru, melainkan lebih memusatkan perhatian tentang penerapan ideologi pada semua bidang kehidupan bangsa. Bagaimana cara meyakinkan segenap komponen bangsa bahwa Pancasila adalah ideologi yang paling tepat bagi bangsa kita?

Pancasila memberi tempat kepada semua agama, golongan, dan suku bangsa. Tidak ada yang tersisih. Kalau mau memilih ideologi lain, itu pasti menimbulkan friksi dan ketakutan bagi golongan yang tidak setuju.

Seyogianya, 1 Juni ditetapkan sebagai salah satu hari besar nasional dan dinyatakan hari libur. Bukan berarti, itu menambah hari libur secara keseluruhan. Namun, kami berpendapat bahwa hari-hari besar yang ada selama ini perlu ditinjau ulang. Hari libur yang merupakan peringatan keagamaan mungkin dapat dikurangi, sedangkan peringatan yang bersifat kebangsaan ditambah (termasuk Hari Pahlawan 10 November).

Jangan Mengultuskan

Dalam kesempatan memperingati lahirnya Pancasila, sebaiknya, kita berniat tidak mengultuskan seseorang. Kita menghargai jasa Soekarno sebagai penggali Pancasila, sungguhpun rumusan Pancasila yang sekarang kita gunakan adalah hasil rumusan kolektif bapak-bapak pendiri bangsa. Kita tidak boleh lagi melakukan kultus individu.

Bila lahirnya Pancasila 1 Juni diperingati setiap tahun, itu dapat menghilangkan salah satu kontroversi sejarah yang diciptakan rezim Orde Baru. Namun, bukan berarti nama baik Soekarno telah dipulihkan. Pelecehan terhadap Soekarno tampak dalam TAP MPRS No XXXIII/1967 tentang pengalihan kekuasaan terhadap Soeharto.

Kita tidak menggugat pengalihan kekuasaan tersebut karena itu telah terjadi. Tetapi, konsiderans yang menyebutkan Soekarno melakukan kebijakan yang "menguntungkan G-30-S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G-30-S/PKI" perlu dipertanyakan.

Kalau diakui bahwa G30S/1965 itu merupakan gerakan kudeta untuk menggulingkan Presiden Soekarno, kenapa Soekarno justru memihak dan melindungi pelakunya? Ketika Soekarno masih menjadi presiden, apakah masuk akal dia membantu kelompok yang ingin menggulingkan dirinya sendiri. Perlu direhabilitasi nama baik sang proklamator kemerdekaan.

Dr Asvi Warman Adam, sejarawan, ahli peneliti utama LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) di Jakarta.

Posting lain mengenai kontroversi 1 Juni lihat blog berikut:
http://yudhitc.wordpress.com/2008/05/29/kontroversi-buku-yamin/

http://jbahonar.blogspot.com/2008/04/kontroversi-1-juni-1945.html

Kamis, 12 Juni 2008

Pancasila Jaminan Keragaman dan Persatuan

Pancasila Jaminan Keragaman dan Persatuan
Tim liputan KBR 68h
01-06-2006


Politik identitas belakangan semakin menguat. Dengan mengatasnamakan agama atau suku, orang dengan mudah menyerang orang lain, terutama mereka yang berbeda dan dianggap bukan bagiannya. Pemisahan semakin menguat dan munculnya gerakan menerapkan syariat Islam di sejumlah tempat, membuat berbagai kalangan resah. Untuk menangkal ide ini, sejumlah kalangan mengajak masyarakat kembali kepada Pancasila.

Mars Pancasila terlupakan
Dulu, lagu Mars Pancasila sering terdengar. Bagaimana tidak, tiap upacara Senin, lagu ini selalu dikumandangkan. Mulai murid SD hingga para pegawai negeri wajib menghapal lagu Pancasila. Tapi kini keadaan telah berubah.

Walau masih kerap dinyanyikan, misalnya dalam upacara kenegaraan, sebagian besar masyarakat mulai melupakan lagu ini. Aris, seorang penjual soto ayam adalah contohnya. Setelah meninggalkan bangku sekolah tahun 2001, Aris mengaku tak pernah lagi menyanyikan lagu Pancasila. Liriknya pun kini sudah mulai terlupakan.

Aris: 'Terakhir? Wah gua gak tau nih. Lupa gua bener. Udah lama soalnya gua nganggur. Abis sekolah. Sekitar tahun 2001. Abis itu nganggur. (Sejak 2001 gak pernah nyanyiin lagi ya?) Iya. Lupa kayanya. Hapal sih sedikit-sedikit'.

Penyakit lupa juga menghinggapi Lia, seorang karyawan swasta di Jakarta. Maklum, sejak lulus SD pada tahun 1980an, Lia mengaku tidak pernah menyanyikan lagu wajib nasional ini.

Lia: (Terakhir mbak menyanyikan lagu ini kapan? ) 'SD (itu berapa tahun yang lalu?) saya lulus tahun 1980-an…(SMP, SMA itu gak pernah nyanyi lagi?) enggak pernah'.

Pancasila, termasuk marsnya, memang tengah kehilangan pamor. Sejak Soeharto dilengserkan delapan tahun silam banyak kalangan malu bicara soal lima dasar negara ini. Sejarawan Anhar Gonggong bisa memahami hal ini, dan itu karena ulah presiden-presiden Soekarno dan Soeharto yang memperalat Pancasila, dan memaksakannya melalui indoktrinasi.

Anhar Gonggong: 'Saya kira ada benarnya orang melupakan Pancasila, bahkan orang malu membicarakannya. Dan itu merupakan salah satu kelemahan. Tapi persoalannya juga terletak pada bahwa dua kekuasaan baik Soekarno maupun Soeharto tidak pernah merumuskan secara serius dan kemudian merealitaskannya. Saya menggunakan istilah Bung Karno merealitaskan apa yang disebut Pancasila itu. Mereka membuat indoktrinasi manipol usdek, kemudian BP 7. Itu semua kan retorika-retorika yang kemudian mengaburkan pemahaman Pancasila itu sendiri'.

Kembali menemukan makna
Sementara, bekas menteri pendidikan dan kebudayaan Fuad Hasan menilai, Pancasila terlanjur menjadi cap Orde Baru, sehingga dikait-kaitkan dengan zaman penindasan. Namun kini, demikian Fuad Hasan, Pancasila seolah kembali menemukan makna. Keragaman agama dan budaya menurut Fuad, bisa disatukan lewat Pancasila.

Fuad Hasan: 'Nah coba dilihat, tujuannya ialah mempunyai satu wawasan ideologis ya. Bung Karno menyebutnya dengan berbagai macam istilah, Weltanschauung dan sebagainya, yang menggalang kebersamaan Indonesia. Jadi Pancasila itu sebagai payung yang bisa menggalang kebersamaan kita sebagai bangsa. Secara ideologis ya. Sekarang mulai mudar, memudar gitu'.

Pemugaran Pancasila
Di tengah anggapan sudah lagi tidak menarik, ternyata ada juga upaya mempertahankan bahkan menghidupkan kembali dasar negara ini. Salah satunya dilakukan oleh Robertus Robert, anggota kelompok kerja perhimpunan pendidikan demokrasi. Bersama rekan-rekannya, Robert mencoba memugar kembali nilai-nilai Pancasila.

Robertus Robert: 'Enggan dengan Pancasila, karena apa, karena Pancasila itu pernah dipakai secara tidak benar di era Soeharto. Nah di titik ini ya, selain kita butuh Pancasila, kita juga butuh apa yang disebut restorasi Pancasila. Pemugaran kembali Pancasila. Kenapa disebut restorasi atau pemugaran? Karena pemugaran itu kan kita membetulkan kembali apa-apa yang rusak. Mengembalikan dia pada aslinya. Ini Pancasila kita perlukan untuk ita pugar kembali. Sehingga dia aktual untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan berdemokrasi sekarang ini'.

Selain sangat dibutuhkan untuk berdemokrasi, Pancasila, kata Robert, juga bisa untuk menangkal keinginan sebagian kelompok mengubah Indonesia menjadi negara Islam.

Terbelah dalam banyak hal
Pengamat Politik Daniel Sparingga menjelaskan sila ketiga Persatuan Indonesia adalah penanda kemajemukan. Sila ini, menurut Daniel mengingatkan bangsa Indonesia supaya terus bersatu padu dalam sebuah persatuan.

Kini, sila ketiga Pancasila terancam oleh gagasan sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam. Menurut Sparingga, ancaman perpecahan bangsa terlihat misalnya dalam kasus pro kontra Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi & Pornoaksi.

Daniel Sparingga: 'Dalam banyak perkara kita terbelah. Terbelah bahkan hitam putih, kiri dan kanan. Misalnya walaupun itu bisa disamarkan, ditutup-tutupi, dengan cara yang terang-terangan atau agak tersamar, percakapan, perdebatan tentang RUU pornografi dan pornoaksi jelas satu isu yang membelah bangsa ini, lebih serius dari yang pernah dikatakan atau disadari. Saya kira national unity itu merupakan salah satu yang tengah mengalami ancaman yang serius'.

Upaya sistematis mengganti dasar negara
Cendekiawan muslim Dawam Rahardjo bahkan menilai ada upaya sistematis untuk mengganti dasar negara. Dawam menuding kelompok Islam garis keras sedang berupaya menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, dengan menerapkan syariat lewat pelbagai peraturan, baik di tingkat daerah maupun di pusat.

Dawam Rahardjo: 'Misalnya dewasa ini ya telah terjadi perpecahan, pengingkaran hak-hak sipil. Termasuk misalnya pemberangusan terhadap kebebasan beragama. Dan kemudian demokrasi itu hanya jadi demokrasi yang prosedural formal dan lain sebagainya, tapi tidak menengok pada nilai dan sebagainya'.

1 Juni tanggal lahir Pancasila
Sebagai dasar negara, Pancasila lahir 1 Juni 1945. Hanya berselang dua bulan sebelum kemerdekaan. Konsepsi ideologi negara ini dicetuskan Soekarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, BPUPKI. Seperti biasa hal-hal yang berbau Soekarno tidak diakui oleh Soeharto. Selama lebih dari 30 tahun Orde Baru, sejarawan dan penatar P4 tidak berani menyatakan 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila. Ketika sekarang Pancasila kembali dirindukan orang, mungkin sudah tiba saatnya untuk mengingat-ingat tanggal 1 Juni sebagai hari lahirnya.

Tim Liputan KBR 68h Melaporkan untuk Radio Nederland di Hilversum.

Rabu, 11 Juni 2008

Pancasila, Mitos, dan Realitas

KOMPAS, Sabtu, 02 Juni 2007
Pancasila, Mitos, dan Realitas
M Dawam Rahardjo


Dewasa ini banyak kalangan dan perorangan yang mempertanyakan Pancasila, apakah masih sebagai ideologi negara, falsafah, atau cara hidup bangsa Indonesia. Apakah Pancasila merupakan kenyataan hidup di Indonesia (living reality) ataukah hanya merupakan mitos belaka.

Dalam kenyataan, hari lahir Pancasila, 1 Juni 1945, masih terus diperingati dengan upacara-upacara khidmat, pernyataan kebulatan tekad, disertai diskusi dan seminar. Para pejabat pemerintah atau para tokoh pergerakan selalu mengutipnya. Namun, pihak lain menilai, sebenarnya Pancasila sudah ditinggalkan, bahkan telah dilanggar, diselewengkan, atau dikhianati.

Puncak pemikiran ideologis

Meski dikritik oleh beberapa kalangan bahwa Pancasila telah disakralkan karena dianggap keramat atau sakti—apa pun maknanya—sekalipun atau justru dipakai sebagai mantra yang sakti dan kuat daya legitimasinya. Melihat pudarnya Pancasila, pihak lain menghubungkannya dengan teori Daniel Bell mengenai the end of ideology, berakhirnya peran ideologi pada pertengahan abad ke-20. Ini berkebalikan dengan keyakinan yang sebagaimana diyakini Mubyarto, Sri-Edi Swasono, dan Sritua Arief bahwa Pancasila adalah the end of history sebagai puncak atau final perkembangan pemikiran ideologis bangsa Indonesia meminjam tesis Francis Fukuyama untuk faham demokrasi liberal.

Melihat kenyataan itu, orang tidak lagi peduli dengan Pancasila. Dengan kata lain, ada dan tiadanya ideologi itu bukan merupakan persoalan atau dengan istilah fikih, wujuduhu ka adamuhu.

Bukankah banyak negara maju di dunia tidak memiliki ideologi seperti Pancasila? Tanpa ideologi mereka bisa lebih maju karena tidak terikat doktrin yang totaliter yang membatasi kebebasan berpikir dan bertindak. Tanpa ideologi mereka lebih bebas mengembangkan dan menggunakan ilmu pengetahuan yang sudah menggantikan peran ideologi itu.
Jika demikian, persoalannya adalah dalam landasan dan kerangka nilai apa kita membangun masyarakat dan negara? Karena, ilmu pengetahuan dan peradaban apa pun memerlukan landasan nilai. Tanpa Pancasila sebagai sistem nilai, apa pun yang sentrifugal sifatnya bisa timbul. Dalam anomali, negara seolah tak punya penjaga gawang, pagar, atau rambu-rambu moral.

Dalam keadaan demikian, bisa marak lagi wacana atau bahkan gerakan negara federal. Masyarakat yang terdiri dari suku, ras, agama, dan golongan akan kehilangan tali pengikat. Dengan kata lain, solidaritas yang oleh Ibn Khaldun dianggap sebagai fondasi masyarakat dan peradaban akan cair. Nasionalisme dan wawasan atau kebangsaan akan pudar. Bisa timbul sektarianisme dan primordialisme baru.

Indonesia sebagai bangsa dan masyarakat akan mengalami disintegrasi. Bahkan dalam masyarakat akan timbul anomali, masyarakat yang tanpa pegangan nilai. Banyak orang sangsi, apakah Pancasila sendiri mengandung pegangan nilai yang benar terurai rinci.
Pada masa Orde Baru kita mempunyai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Tetapi, P4 itu sudah dihapus bersamaan ditolaknya program indoktrinasi. Betapapun, Pancasila pernah ada rinciannya. Hanya saja penafsirannya saat itu dianggap sebagai penafsiran tunggal yang dibingkai totalitarianisme.

Kini, gagasan untuk memberikan tafsir resmi kepada Pancasila telah ditolak sehingga masyarakat diberi kebebasan untuk memberi penafsiran dari berbagai sudut pandang dan perspektif yang berbeda. Hasilnya tentu beragam penafsiran yang saling berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain, tetapi hal ini justru membuat wacana menjadi dinamis.
Nurcholish Madjid pernah berkata, Pancasila adalah ideologi terbuka yang memungkinkan berubah dan berkembang, sebab sebagaimana dalam epistemologi Marxis, kondisi itu memengaruhi kesadaran. Dengan kata lain, perkembangan nilai itu sejalan dengan perkembangan masyarakat. Karena itu, Pancasila tak bisa menjadi ideologi tertutup, yaitu tertutup dari pengaruh luar.

Tafsir Pancasila

Berbicara dalam konteks teori mutakhir Colemen dan Fukuyama, Pancasila yang menjadi jaminan saling percaya antar- anak bangsa, gotong-royong atau solidaritas ini dapat ditafsirkan sebagai nilai trust, yakni suatu modal sosial yang menjadi faktor kemajuan suatu bangsa, seperti telah dicapai Jerman, Jepang, dan Amerika.

Di lain pihak dipertanyakan, mengapa Indonesia masih menjadi bangsa dan negara terbelakang yang diganggu berbagai persoalan, seperti korupsi, konflik, terorisme, dan tindak kekerasan atas nama agama dan berbagai gejala disintegrasi?

Ada beberapa jawaban hipotesis dalam hal ini. Tiadanya keteladanan elite, terutama pejabat pemerintahan dan politisi. Bahkan, mereka menjadi contoh buruk dalam korupsi yang memalukan.

Kedua, Pancasila belum dipahami, terutama di kalangan elite dan kelas menengah, meski sebagian antropolog mengatakan, Pancasila justru hidup di kalangan rakyat pedesaan. Jika pedesaan juga dinilai rusak, itu adalah pengaruh kota melalui politik dan pemerintahan.
Ketiga, masyarakat dipengaruhi budaya asing yang dibawa kapitalisme dan globalisasi. Ketahanan itu tampak rawan karena masyarakat Indonesia kurang pendidikan dan miskin. Karena itu, solusi untuk menegakkan Pancasila adalah pemberantasan kebodohan dan kemiskinan.

Pancasila bertolak dari gagasan Bhinneka Tunggal Ika, yakni keragaman dalam persatuan sebagai ciri masyarakat Indonesia. Menurut Dyenis Lombart, Indonesia dibangun dalam geologi kebudayaan berlapis-lapis yang menghasilkan masyarakat yang plural dan multikultural yang mengandung potensi konflik, karena itu harus ada ideologi yang mampu mengendalikannya, yaitu pluralisme.

Pancasila juga dibangun berdasarkan geologi kebudayaan sejak agama Buddha, Hindu, Islam, Konghucu, dan Kristen. Maka, Pancasila juga merupakan jawaban terhadap tantangan masyarakat yang makin kompleks dan majemuk dewasa ini.

M Dawam Rahardjo Ketua Lembaga Studi Agama dan Filsafat

Senin, 09 Juni 2008

Pancasila Harus Dipegang Teguh

Bung Hatta
Pancasila Harus Dipegang Teguh

Perlulah saya uraikan sepintas tentang isi dan inti dari Pancasila itu.*) Pancasila artinya 5 dasar untuk pedoman menyusun negara, yaitu 1. Ketuhanan Yang Maha Esa; 2. Perikemanusiaan ; 3. Kebangsaan; 4. Kedaulatan Rakyat dan 5. Keadilan Sosial.

Isi dari dasar Ketuhanan Yang Maha Esa ialah mengakui suatu kekuasaan di atas manusia. Dasar ini oleh semua golongan bisa dipakai menurut agamanya masing-masing. Masing-masing golongan bisa memahami arti Ketuhanan Yang Maha Esa itu menurut paham agamanya. Tetapi, nyatalah bahwa inti dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu ialah penghargaan manusia sebagai makhluk Tuhan. Jikalau di antara manusia dengan manusia tidak ada harga menghargai, maka tidak bisa dicapai suatu susunan dunia. Di antara manusia ada yang kaya ada yang iniskin, ada yang berbeda kecakapannya, ada yang bodoh ada yang pintar, tetapi sebagai manusia makhluk Tuhan ia dipandang sama.

Selain dari persaudaraan antara manusia dengan manusia, juga supaya dunia yang terganggu dengan perang bisa terhindar dari bencana. Itulah tujuan dari segala agama. Dan juga menjadi tujuan dari semua ideologi yang berdasar sosialisme.

Selain dari itu pada bagian ketiga kita harus menyelenggarakan persahabatan antara bangsa dengan bangsa. lni penting sekali untuk masa yang akan datang, untuk mencapai dunia yang berdasarkan perdamaian yang kekal. Perang pada waktu ini semakin hari semakin hebat. Dulu yang mati di dalam peperangan hanyalah prajurit; yang berada di kota-kota selamat, malahan dalam hukum internasional pada abad yang lalu diadakan peraturan untuk melindungi penduduk sipil dengan mengadakan peraturan kota terbuka, yang tidak boleh ditembaki. Tetapi dalam Perang Dunia I tahun 1914 dasar ini sudah dilanggar dan malahan pada Perang Dunia II orang tidak merasa aman lagi. Orang menggali lubang dan hidup di dalam lubang, takut tertimpa hujan bom. Dengan timbulnya kapal udara, bahaya perang semakin hebat, seolah-olah manusia kembali ke abad belakang, mencari lubang untuk perlindungan diri. Sekarang dengan adanya atom orang merasa lebih lebih tidak aman lagi. Atom bisa menjalar sampai ke lubang-lubang dan ini berarti di dalam kota pun orang akan tidak merasa aman lagi. Inilah akibat dari peperangan sekarang. Jikalau kita lihat perang Korea sekarang akan tampak berapa banyak kota yang binasa, berpuluh juta yang tewas, sedang di antara yang tewas banyak pula rakyat biasa daripada mereka yang tewas di medan perang.

Keganasan peperangan sekarang ini menuntut kita menyelenggarakan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Inilah pedoman kita untuk menjalankan politik luar negeri di atas dasar, harga-menghargai. Jikalau hanya kita yang berjuang ke jurusan ini, sedangkan bangsa-bangsa lain tidak turut serta, maka cita-cita ini tidak akan tercapai.

Tapi bagaimanapun itulah cita-cita kita, itulah dasar hidup kita, harga menghargai.

Jikalau ada suatu bangsa yang mau menghina kita, kita tidak ingin bersahabat dengan dia. Kita hanya bersahabat jikalau ada saling harga menghargai.

Kedua, selain dari Ketuhanan Yang Maha Esa, kita menuntut pula penghargaan manusia sebagai makhluk. Kita harus pula menjalankan segala usaha dengan kesucian hati dan perbuatan. Kalau tidak maka kita tidak sanggup memimpin negara kita ke jalan kemajuan. Ini juga adalah kelanjutan dari dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dasar yang kedua ialah dasar Perikemanusiaan. Dasar Perikemanusiaan ini tidak lain dari penyelenggaraan dan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Di dalam prakteknya selain dari itu kita juga mencapai perhubungan antara manusia dengan manusia, umpamanya perhubungan antara majikan dengan buruh. Kita tidak bisa mengizinkan suatu hubungan yang berdasarkan perbudakan. Ini tidak saja mengenai majikan asing, tetapi juga antara kita sama kita. Kita mengingini penghargaan terhadap buruh sebagai seorang manusia.

Selain dari itu hubungan antara kapital dengan buruh yang nanti akan saya bentangkan lebih jauh. Pokoknya di dalam hubungan antara kapital dengan buruh kita harus menyelenggarakan dan mencapai perikemanusiaan, supaya penghidupan buruh semakin hari semakin baik.

Dasar yang ketiga ialah Kebangsaan. Yang pertama kali ialah pengakuan bahwa kita adalah bangsa yang satu. Saudara-saudara barangkali masih ingat dengan janji dan sumpah pemuda pada tahun 1928 yang mengakui bahwa kita hanya berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia, berbahasa satu yaitu bahasa persatuan Indonesia Inilah yang kita selenggarakan di dalam proklamasi. Negara kita bukanlah negara yang berpecah-pecah. Tentang susunan ke dalam kita bisa bertukar pendapat, ada yang menganggap susunan federasilah yang baik dan ada yang menganggap negara kesatuanlah yang terbaik. Tetapi bagaimanapun, dalam menghadap ke luar kita tetap satu. Dasar persatuan kebangsaan harus diselenggarakan, karena kita tidak mau diadu-domba.

Kita hanya satu bangsa, satu tanah air. Inilah kelanjutan dari dasar kebangsaan.

Selanjutnya negara kita adalah negara nasional, bukan negara internasional. Dan kita harus mempertahankan dasar ini, yang akan memberikan kedaulatan di tangan rakyat kita sendiri. Kalau kita mengakui negara kita ini negara internasional, maka kedaulatan tidak berada di tangan rakyat, tetapi berada di tangan orang, organisasi atau negara di luar kita. Dasar dari kebangsaan ini ialah satu pengakuan bahwa negara kita ini adalah negara nasional, yang menentang semua ideologi yang akan membawa penjajahan asing, penjajahan yang datangnya dari ideologi penjajahan dari satu negara atau penjajahan dari satu bangsa. Kita harus mengakui adanya kedaulatan di tangan negara kita. Hal ini saya tegaskan supaya kita dapat memelihara tanah pusaka, supaya kemerdekaan kita kekal.

Memang ada aliran, yang mau menaklukkan kita ke dalam kekuasaan asing. lni mesti kita tentang. Kita sudah berjuang mati-matian untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda, dan kita tidak ingin dijajah kembali, walau di mana pun juga pusatnya penjajahan itu.

Dasar yang keempat ialah Kerakyatan atau kedaulatan rakyat yang sering dikatakan demokrasi. Demokrasi adalah dasar dari cita- cita rakyat. Untuk menyelenggarakan cita-cita itu kita mengadakan pemerintahan negara yang berdasarkan parlemen yang dipilih dari waktu ke waktu, supaya rakyat bisa mengkontrolnya. Jikalau anggota parlemen diangkat seumur hidup, terhadap dia tidak ada kontrol. Waktu dilakukan pemilihan ia mau memberikan janji-janji yang muluk. Untuk mengoreksi pekerjaan anggota parlemen, maka diadakan sistem pemilihan sewaktu-waktu. Pada tiap negara demokrasi dapat dilihat adanya sistem pemilihan sewaktu-waktu supaya rakyat bisa memutuskan tentang siapa yang akan diutus duduk di dalam parlemen.

Pemerintah juga terdiri dari golongan yang terbanyak dalam parlemen. Memang da- sar ini belum sempurna kita selenggarakan. Demokrasi kita baru tumbuh. Dalam penja- jahan asing kita belum mempunyai demokrasi, dan kita baru mencoba menum- buhkan demokrasi. Untuk mencapai jalan yang sebaik-baiknya dapat diselenggarakan, jikalau kita mempunyai rasa tanggungjawab atas diri sendiri, karena kelanjutan atau syarat, dari demokrasi pada rakyat harus diletakkan rasa tanggung jawab untuk tidak mengutus siapa-siapa saja yang dapat memberikan janji-janji yang baik. Pemerintah demokrasi ialah pemerintah yang bertanggung jawab terhadap DPR dan DPR bertang- gung jawab pula kepada rakyat. Adalah kewajiban bagi kita untuk mempertebal rasa tanggung jawab ini antara satu sama lainnya, untuk menyelenggarakan demokrasi yang sebaik-baiknya.

Sistem otonomi adalah penyelenggaraan sistem pemerintahan rakyat dengan mendekatkan pertanggungan jawab kepada rakyat. Jikalau di pusat saja diadakan demokrasi, maka kontrol dari rakyat jauh sekali dan tidak langsung.

Juga di dalam menyelenggarakan ini terdapat kesulitan dan entah berapa lama lagi kita harus menyusun negara kita supaya demokrasi berjalan baik. Jikalau terlalu banyak tingkatan demokrasi akan timbul kekacauan. Untuk sementara kita mengambil 4 tingkat, yaitu pusat, pemerintahan provinsi, pemerintahan kabupaten dan pemerintahan desa. Demokrasi yang lebih dekat kepada rakyat ialah dalam pemerintahan desa. Di dalam pemerintahan desa, hampir seluruh orang desa dapat memutuskan apa yang baik bagi mereka. Di dalam mengadakan 4 tingkat demokrasi ini usaha kita berlain-lainan. Umpamanya perundingan di desa mengenai semata-mata kepentingan desa membicarakan pembikinan tempat mandi, membersihkan saluransaluran air dan memberikan hak-hak otonomi bagi yang bisa diurus dalam lingkungan yang lebih kecil.

Pemerintahan desa bukanlah tempatnya mempersoalkan apakah Indonesia masuk ke dalam UNO atau tidak. Ini perlu sekali diperhatikan, karena pernah pada tahun 1947 ketika saya mengelilingi Sumatra Timur desa desa ikut memperbincangkan soal Linggarjati. Politik luar negeri tempatnya adalah di parlemen.

Pada waktu ini kita belum mempunyai undang-undang dan peraturan yang membagi kekuasaan masing-masing. Sedikit hari lagi tentu ada peraturan pembagian kekuasaan, supaya betul-betul rakyat melakukan pemerintahan sendiri untuk mengatur kepentingan sendiri.

Pusat otonomi kita nanti terletak di kabupaten. Sedangkan provinsi adalah badan yang mengkoordinasikan otonomi yang berada dalam lingkungannya. Besar pengharapan saya, supaya Saudara-saudara yang terpandang sebagai pemimpin rakyat maupun di dalam jabatan atau organisasi, supaya mematangkan rakyat dan merasakan tanggung jawab yang besar ini. Jikalau tidak dirasakan tanggung jawab ini, maka segala badan yang didirikan tidak akan berhasil. Inilah tujuan kerakyatan kita.

Demokrasi kita baru tumbuh, karena kita masih belum bisa meletakkan dasar kepartaian semata-mata. Misalnya tentang kabinet Natsir, yang tidak dapat kita namakan apakah kabinet parlementer, karena tidak semua aliran dari golongan-golongan yang ada di dalam parlemen duduk di dalamnya. Juga apakah ia dapat dinamakan zaken kabinet, karena di dalam zaken kabinet, kepartaian tidak perlu diperhatikan.

Ada yang mengatakan ekstra parlementer kabinet, dan bagi saya inilah yang lebih dekat. Kabinet yang disebut ekstra parlementer kabinet adalah bertanggung jawab kepada parlemen, tetapi susunan orangnya tidak langsung dari anggota-anggota yang terkemuka dari partai-partai. Mungkin susunan pemerintahan sekarang ini dapat dikatakan ekstra parlementer kabinet, karena kabinet dibentuk di atas perembukan partai-partai yang menyusunnya. Sudah nyata bahwa masih tidak sesuai 100 persen dengan kabinet parlementer, karena pada umumnya kepartaian belum lagi mendalam di kalangan rakyat dan belum mempunyai ahli-ahli yang cakap yang terkenal politisi. Di Inggris semua yang duduk di dalam parlemen adalah orang-orang ahIi. Tetapi intelektual kita belum begitu maju, sehingga partai-partai belum ada yang mempunyai ahli di dalam lapangan sosial, di lapangan keuangan, pengajaran dan lain-lain. SebaIiknya yang mempunyai keahlian tidak mempunyai partai, demikian menurut kebanyakannya, sehingga sukar bagi seorang perdana menteri memilih susunan kabinet dari semua partai.

Di Inggris, Ernest Bevin, bukanlah seorang ahli, tetapi ia seorang yang kuat di dalam partai. Tidak begitu sulitnya karena departemen-departemen di Inggris telah lengkap dan dapat berjalan. Di Prancis kontak antara menteri dengan parlemen sangat sedikit, karena kabinetnya sering sekali berubah-ubah. Ada umur kementerian yang hanya 3 hari, ada yang sampai 1 bulan dan malahan sebelum Perang Dunia II ada dewan kementerian yang berumur 1 hari. Sudah teranglah dengan berubah-ubahnya susunan kabinet itu, jikalau semua kementerian bergantung pada menteri, pekerjaan kementerian tidak akan berjalan. Dalam keadaan yang seperti itu kekuasaan pegawai sangat besar. Menteri hanyalah memberikan beleid umum yang menjadi dasarnya kementerian-kementerian. Dalam pimpinan harian, kabinet tidak banyak turut mencampuri.

Dalam kehidupan sekarang ini tuntutan terhadap menteri sangat sulit, karena kita baru bekerja dengan pegawai-pegawai yang tidak cukup. Tidak heran jikalau pegawai tinggi dalam kementerian terpaksa mengalami overwerk (artinya kerja lembur), terpaksa pulang membawa map untuk mengerjakan yang tidak bisa dikerjakan di kantor, sehingga menteri-menteri pada umumnya kekurangan waktu. Jadi jikalau ada menteri yang overwerk atau beristirahat, itu bukanlah ganjil. Sebagai akibat kekurangan tenaga maka banyak soal yang harus diurus sendiri oleh menteri, sehingga menteri-menteri kita dituntut pula harus mempunyai keahlian. Kita terpaksa pula mempergunakan tenaga asing yang tentunya memakan biaya yang besar, karena mereka tidak mau dibayar menurut schaal kita.

Sekarang nyatalah bagi Saudara-saudara bahwa untuk menjalankan demokrasi haruslah dengan mempertebal tanggung jawab di dalam diri sendiri. Dan yang paling penting ialah di dalam segala usaha haruslah ada kejujuran. Jangan hanya mencari kemenangan dengan menegakkan benang basah, jangan melakukan oposisi saja, tetapi maunya secara gentleman. lnilah yang mesti kita selenggarakan, yaitu politik yang berdasar kejujuran dan kesucian. Kalau tidak pemerintahan demokrasi kita akan menjadi anarki.

Tidak sembarang orang yang bisa menjadi seorang politikus. Seorang profesor yang pintar umpamanya, masih belum tentu dapat menjadi seorang politikus. Politikus menuntut adanya kecakapan yang tersendiri. Dan sebaliknya ada orang dapat menjadi seorang staatsman, karena staatsman menghendaki tuntutan yang lain pula. Seorang politikus bisa memperjuangkan cita-cita yang menjadi prinsipnya di dalam parlemensecara setajam-tajamnya. Tetapi sebaliknya seorang staatsman tidak boleh berbuat seperti itu. Kita umpamakan jikalau satu partai yang menjalankan pemerintahan, ia tidak boleh menjalankan pemerintahan itu menurut prinsipnya sendiri. Contoh seperti ini dapat dilihat dengan Labour Party di Inggris.

Jikalau sebagai pemerintah sekarang dipakai main prinsip-prinsipan maka pada pemerintahan yang akan datang dasar yang dipakai sekarang ini terpaksa diubah. Pemerintah di dalam dasarnya sering mengambil jalan tengah.

Selain dari itu tuntutan terhadap pegawai berlainan pula, karena tuntutan yang terpenting bagi seorang pegawai ialah keahlian. Pegawai harus mendapat kesempatan mengerjakan keputusan-keputusan yang telah diambil oleh pemerintah. Untuk dijadikan seorang pegawai ada tuntutan yang istimewa, yaitu mempunyai kecakapan di dalam pekerjaannya sendiri. Tidak sembarang orang yang bisa mengepalai rumah sakit, atau mendatangkan kemakmuran umpamanya, karena ia menghendaki pengetahuan di dalam bagiannya masing-masing. Dan pula sebaliknya tidak semua pegawai yang cakap bisa menjadi seorang staatsman atau politikus.

Sebab itulah salah sekali jikalau seorang pegawai yang cakap di dalam jabatannya lalu diambil menjadi menteri, sedangkan kehidupan seorang menteri adalah tidak kekal. Sesudah habis ia menjadi menteri maka pekerjaannya akan terlantar. Dalam menuruti tiga kategori ini, kita harus memilih yang sebaik-baiknya dan mengambil perbedaan yang jelas dari padanya. Kita di dalam hal ini banyak sekali telah berbuat kesalahan, sehingga ada terjadi seorang pegawai yang ahli dijadikan menteri. Kejadian ini adalah juga sebagai lanjutan dari tuntutan demokrasi kita.

Dasar yang kelima ialah Keadilan Sosial. Supaya di dalam masyarakat kita ini kita mencapai suatu masyarakat yang mempunyai keadilan sosial, terutama haruslah kita mencapai demokrasi di dalam ekonomi. Kita harus menyelenggarakan supaya di dalam perusahaan-perusahaan buruh mendapat kedudukan yang pantas sesuai dengan pekerjaannya. Selain dari itu kita harus pula menyebarkan pengetahuan kebudayaan yang seluas-luasnya di kalangan rakyat, sehingga rakyat mempunyai kultur, supaya kultur itu tidak terbatas pada kaum intelektual dan supaya rakyat yang berada di gunung dan pelosok desa pada satu kali dapat mengecap listrik dan radio. Ke puncak gunung yang paling tinggi di mana ada hidup rakyat kita, hendaknya dapat dialirkan kecerdasan manusia. Cita-cita ini pada satu kali mesti tercapai.

Selain dari itu suatu jaminan sosial terhadap buruh, penghidupan buruh, harus terpelihara pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Jaminan sosial ini sudah menjadi dasar internasional dan sudah disempurnakan di negara-negara yang modern, yaitu buruh bergantung dengan upahnya, menyimpan satu atau setengah persen dari pendapatannya pada tiap bulan, dan majikan memikul sebagiannya yang akan menghasilkan fonds pensiun bagi buruh tadi. Jaminan sosial terhadap anak dan istri buruh harus menjadi tuntutannya dari dasar negara kita. Inilah yang menjadi dasar dari negara kita.

Inilah dasar-dasar yang menjadi tujuan negara kita. Jikalau kita dapat berpegang kuat kepada dasar ini, maka kita akan dapat mencapai tujuan yang menjadi cita-cita kita; yaitu suatu Indonesia yang adil dan makmur, supaya rakyat dapat mengecap keadilan masyarakat dan kemakmuran di rohani dan jasmani.*) Dikutip dari “Pancasila Harus Dipegang Teguh”, pidato wakil presiden Dr. Mohammad Hatta pada rapat terbatas di Pematang Siantar, 22 November 1950.

Kamis, 05 Juni 2008

AGAMA

AGAMA
Oleh: A. Mustofa Bisri
14 Nopember 2006 03:00:01

AGAMA

Agama
adalah kereta kencana
yang disediakan Tuhan
untuk kendaraan kalian
berangkat menuju hadiratNya
Jangan terpukau keindahannya saja
Apalagi sampai
dengan saudara-saudara sendiri bertikai
berebut tempat paling depan
Kereta kencana
cukup luas untuk semua hamba
yang rindu Tuhan
Berangkatlah!
Sejak lama
Ia menunggu kalian.

Rembang, 12.12.2005
Sumber: http://www.gusmus.net/page.php?mod=dinamis&sub=4&id=537

Pidato Bung Karno Tanggal 1 Juni 1945

Pidato Bung Karno Tanggal 1 Juni 1945

Paduka Tuan Ketua Yang Mulia! Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai 1* mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka Tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia? Paduka Tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini. Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah—dalam bahasa Belanda—”Philosofische grondslag”2* dari Indonesia Merdeka. Philosofische grondslag itulah fondamen, filsafat, pikiran-yang-sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat-yang-sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka Tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberitahukan kepada Tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan “merdeka”.
-----
1* Nama Indonesia-nya: Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. 2* Dasar filsafati (bhs. Belanda).

(2) “Merdeka” buat saya ialah political independence, politieke onafhankelijkheid.
3* Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid? Tuan-tuan sekalian! Dengan terus terang saja saya berkata: Tatkala Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang —saya katakan di dalam bahasa asing, maafkan perkataan ini—”zwaarwichtig”4* akan perkara yang kecil-kecil. Zwaarwichtig sampai—kata orang Jawa—jelimet5*. Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai jelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan. Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu. Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya! Alangkah berbedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Ne-gara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai, itu selesai, itu selesai sampai jelimet!, maka saya bertanya kepada Tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri dari kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti akan hal ini atau itu. Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Di situ ternyata, bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu! Toh Saudi Arabia merdeka! Lihatlah pula—jikalau Tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat—Sovyet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Sovyet,
-----
3* Kemerdekaan politik (bhs. Inggris dan Belanda).
4* Seolah-olah amat berat (bhs. Belanda).
5* Dengan teliti, terinci dan lengkap (bhs. Jawa).

(3) adakah rakyat Sovyet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia. adalah rakyat Musyik 6* yang lebih dari 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, Tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Sovyet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Sovyet itu. Dan kita sekarang di sini mau mendirikan Negara Indonesia Merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan! Maaf, Paduka Tuan Zimukyokutyoo7*! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca Tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai jelimet hal ini dan itu dahulu semuanya! Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai jelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, Tuan tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka,—sampai di lubang kubur! (Tepuk tangan riuh). Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun 1933 saya telah menulis satu risalah. Risalah yang bernama Mencapai Indonesia Merdeka. Maka di dalam risalah tahun 1933 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat. Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam satu malam—in one night only!—kata Amstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia Merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riad dengan 6 orang! Sesudah “jembatan” itu diletakkan oleh Ibn Saud, maka di seberang jembatan—artinya kemudian dari pada itu—Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi Arabia. Orang yang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya bergelandangan sebagai nomade 8*, yaitu orang Badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk bercocok tanam. Nomade dirubah oleh Ibn Saud menjadi ----- 6* Golongan yang percaya adanya Tuhan, tetapi tak menganut suatu agama. 7* Kepala Kantor Tata Usaha untuk Lembaga Tinggi (bhs. Jepang). Badan di bawah pemerintah militer Jepang untuk mengurus persiapan sidang-sidang BPUPKI. 8* Suku yang berpindah-pindah tempat, pengembara (bhs. Belanda). (4) kaum tani,—semuanya di seberang jembatan. Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Sovyet-Rusia Merdeka, telah mempunyai Dneprprostoff, dam yang mahabesar di sungai Dnepr? Apa ia telah mempunyai radio-station, yang menyundul ke angkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Sovyet-Rusia Merdeka telah dapat membaca dan menulis? Tidak, Tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio-station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan creche9*, baru mengadakan Dneprprostoff! Maka oleh karena itu saya minta kepada Tuan-tuan sekalian, janganlah Tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini dan itu lebih dulu harus selesai dengan jelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannya Tuan-tuan punya semangat—jikalau Tuan-tuan demikian—dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya. Dua milyun pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini semua berhasrat Indonesia Merdeka Sekarang! (Tepuk tangan riuh). Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, padahal semboyan Indonesia Merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia Merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan “INDONESIA MERDEKA SEKARANG”. Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang, sekarang! (Tepuk tangan riuh). Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia Merdeka,—kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar- hati! Saudara-saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah satu jembatan! Jangan gentar! Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan
-----
9* Tempat penitipan bayi dan anak-anak pada waktu orangtuanya bekerja.

(5) kesempatan oleh Dai Nippon10* untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseikan 11* diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo 12* diganti dengan orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau umpamanya Butyoo-Butyoo13 diganti dengan orang-orang Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political independence, politieke onafhankelijkheid—in one night, di dalam satu malam! Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milyun, semuanya bersemboyan: Indonesia Merdeka, sekarang! Jikalau umpamanya Balatentara Dai Nippon sekarang menyerahkan urusan negara kepada Saudara-saudara, apakah Saudara-saudara akan menolak, serta berkata: “mangke rumiyin”—tunggu dulu—minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia Merdeka? (Seruan: Tidak! Tidak!) Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini Balatentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menit pun kita tidak akan menolak, sekarang pun kita menerima urusan itu, sekarang pun kita mulai dengan negara Indo-nesia yang Merdeka! (Tepuk tangan menggemparkan.) Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbedaan antara Sovyet-Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika dll. tentang isinya: tetapi ada satu yang sama, yaitu rakyat Saudi Arabia sanggup mempertahankan negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Inggris sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis.14* Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan daging-nya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita,
-----
10* (Kekaisaran) Jepang Raya.
11* Kepala Pemerintahan Militer Tentara Pendudukan Jepang.
12* Kepala Departemen Urusan Umum.
13* Kepala Departemen.
14* Tuntutan minimum (bhs, Belanda).

(6) Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, Saudara-saudara, semua siap sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk Merdeka. (Tepuk tangan riuh) Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun demikian, Saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata: Ah, saya belum berani kawin, tunggu dulu gajih 500 gulden. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentulmentul15*, sudah mempunyai meja-kursi yang selengkap-lengkapnya, sudah mempunyai sendok garpu perak satu kaset, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet 16*, barulah saya berani kawin. Ada orang lain yang berkata: Saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat—yaitu “meja makan”— lantas satu zitje 17*, lantas satu tempat tidur. Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu Saudarasaudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan satu tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk 18* dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat tidur: kawin. Sang Ndoro 19* yang mempunyai rumah gedung, electrischekookplaat 20*, tempat tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig 21*, belum tentu mana yang lebih bahagia, Sang Ndoro dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, Saudara-saudara! (Tepuk tangan, dan tertawa) Tekad hatinya yang perlu, tekad hatinya Samiun kawin dengan
-----
15* Memantul, melenting (bhs. Jawa).
16* Pakaian untuk anak-anak.
17* Tempat duduk yang nyaman untuk bersantai (bhs. Belanda).
18* Jurutulis (bhs. Belanda).
19* Berasal dari kata bandoro (bhs.Jawa), yang berarti tuan atau majikan.
20* Alat masak listrik.
21* Berbahagia (bhs. Belanda).

(7) satu tikar dan satu periuk, dan hati Sang Ndoro yang baru berani kawin kalau sudah mempunyai gerozilver 22* satu kaset plus kinderuitzet,— buat 3 tahun lamanya! (Tertawa). Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: —kita ini berani merdeka atau tidak?—Inilah, Saudara-saudara sekalian, Paduka Tuan Ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian Paduka Tuan Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: Kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara-saudara, jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence—saya ulangi lagi—sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia Merdeka! (Tepuk tangan riuh) Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hati-nya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud memer-dekakan rakyat Arabia satu persatu. Di dalam Sovyet- Rusia Merdeka Stalin memerdekakan hati bangsa Sovyet-Rusia satu per satu. Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata, kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak disentri, banyak penyakit hongerudeem 23*, banyak ini banyak itu. “Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka”. Saya berkata, kalau ini pun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya
-----
22* Peralatan makan dari perak.
23* Penyakit busung lapar.

(8) menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan “jembatan”. Di seberang jembatan—jembatan emas—inilah baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi. Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang mahapenting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutara-kan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya internationaal recht—hukum internasional— menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat yang neko-neko 24*, yang men-jelimet. Tidak! Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk internationaal recht. Cukup, Saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu negara lain yang merdeka, inilah yang sudah bernama: merdeka. Tidak perduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak perduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak perduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahannya — sudahlah ia merdeka. Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka apa tidak? (Jawab hadirin: Mau!) Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal “merdeka”, maka sekarang saya bicarakan tentang hal dasar. Paduka Tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang Pa-duka Tuan Ketua kehendaki! Paduka Tuan Ketua minta dasar, minta philosofische grondslag, atau—jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk—Paduka Tuan Ketua yang mulia meminta suatu “Weltanschauung” 25*, di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu. Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak di antara negeri-negeri yang merdeka itu
-----
24* Macam-macam (bhs. Jawa).
25* Pandangan hidup, filsafat hidup (bhs. Jerman).

(9) berdiri di atas suatu Weltanschauung. Hitler mendirikan Jermania di atas national-sozialistische Weltanschauung—filsafat nasionalsosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Sovyet di atas satu Weltanschauung, yaitu Marxistische, Historisch-Materialistische Weltanschauung. Nippon mendirikan negara Dai Nippon di atas satu Weltanschauung, yaitu yang dinamakan Tennoo Koodoo Seishin. Di atas Tennoo Koodoo Seishin inilah negara Dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu Weltanschauung— bahkan di atas satu dasar agama—yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia: Apakah Weltanschauung kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka? Tuan-tuan sekalian, Weltanschauung ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam Weltanschauung, bekerja mati-matian untuk me-realiteit-kan Weltanschauung mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikoesno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan. Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed, “Sovyet-Rusia didirikan di dalam 10 hari oleh Lenin c.s.”— Reed di dalam kitabnya Ten days that shook the world, Sepuluh hari yang menggoncangkan dunia—walaupun Lenin mendirikan SovyetRusia di dalam 10 hari, tetapi Weltanschauung-nya telah tersedia berpuluh-puluh tahun. Terlebih dulu telah tersedia Weltanschauungnya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekadar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu di atas Weltanschauung yang sudah ada. Dari 1895 Weltanschauung itu telah disusun. Bahkan dalam revolusi 1905, Weltanschauung itu “dicobakan”, di-generale-repetitie-kan. Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri generale-repetitie dari revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917, Weltanschauung itu disediasediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian—hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed—hanya dalam 10 hari itulah (10) didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu di atas Weltanschauung yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian? Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, men-dirikan negara Jermania di atas National-sozialistische Weltan-schauung. Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya Weltanschauung itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini—Weltanschauung ini—dapat menjelma dengan dia punya Munchener Putsch, tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya beliau dapat merebut kekuasaan dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar Weltanschauung yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu. Maka demikian pula. jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka Tuan Ketua, timbullah pertanyaan: Apakah Weltanschauung kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka di atasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan oleh Doktor Sun Yan Sen? Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi Weltanschauung-nya telah dalam tahun 1885—kalau saya tidak salah—dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku The three people’s principles, San Min Chu I—Mintsu, Minchuan, Min Sheng: nasionalisme, demokrasi, sosialisme—telah digambarkan oleh Dr. Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas Weltanschauung San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun. Kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka di atas Welt-anschauung apa? Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau Weltanschauung apakah? Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan—macam-macam— tetapi alangkah benarnya perkataan dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadi-koesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan paham. Kita bersama-sama mencari persatuan (11) philosofische grondslag, mencari satu Weltanschauung yang kita semua setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang Saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang Sdr. Sanoesi setujui, yang Sdr. Abikoesno setujui, yang Sdr. Liem Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus.26*. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui. Apakah itu? Pertama-tama, Saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan? Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik Saudarasaudara yang bernama kaum Kebangsaan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya—tetapi “semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918 —25 tahun lebih—ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan. Kita mendirikan satu Negara Kebangsaan Indonesia. Saya minta, Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Saudara saudara Islam lain, maafkanlah saya memakai perkataan “kebangsaan” ini! Saya pun orang Islam. Tetapi saya minta kepada Saudara-saudara, janganlah Saudara-saudara salah paham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat,27 seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh

-----
26* Cara (bhs. Belanda).

(12) beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat27* Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka Tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak Tuan pun adalah orang Indonesia, nenek Tuan pun bangsa Indonesia, datuk-datuk Tuan, nenek moyang Tuan pun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia. Satu Nationale Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempo sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa? Menurut Renan28*, syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu”. Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan menyebut syarat bangsa: “le desir d’etre ensemble”, yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu. Kalau kita lihat definisi orang lain—yaitu definisi Otto Bauer29*— di dalam bukunya, Die Nationalitatenfrage, di situ ditanyakan: “Was ist eine Nation?” dan dijawabnya ialah: “Eine Nation ist eine aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft” (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib). Inilah menurut Otto Bauer satu natie. Tetapi kemarin pun, tatkala—kalau tidak salah—Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata: “Verouderd!”—”sudah tua”. Memang Tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah verouderd, sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Ernest Renan mengadakan definisinya itu, tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru—satu ilmu baru— yang dinamakan Geopolitik.

-----
27* Negara nasional (bhs. Belanda).
28* Ernest Renan, pemikir orientalis Perancis.
29* Pemikir dan teoritikus Partai Sosial Demokrat Austria.

(13) Kemarin—kalau tidak salah—Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Tuan Moenandar, mengatakan tentang “Persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan tempat, Tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya! Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekadar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan Gemeinschaft30*-nya dan perasaan orangnya, “l’ame et le desir”.31* Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t. membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana “kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang anak kecil pun—jikalau ia melihat peta dunia—ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara 2 lautan yang besar, Lautan Pasific dan Lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan. Demikian pula tiaptiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir timur Benua Asia sebagai golfbreker atau penghadang gelombang Lautan Pasific, adalah satu kesatuan. Anak kecil pun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh Lautan Hindia yang luas dan Gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan. Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu kesatuan pula. Itu ditaruhkan oleh Allah s.w.t. demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athena saja, bukan Macedonia saja, tetapi
-----
30* Persamaan, persatuan (bhs. Jerman).
31* Jiwa dan kehendaknya (bhs. Perancis).

(14) Sparta plus Athena plus Macedonia plus daerah Yunani yang lainlain— segenap kepulauan Yunani—adalah satu kesatuan. Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesia-lah tanah air kita. Indo-nesia yang bulat—bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera—itulah tanah air kita! Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat –antara rakyat dan buminya—maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oleh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup “le desir d’etre ensemble”, tidak cukup definisi Otto Bauer “aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft” itu. Maaf, Saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau. Di antara bangsa di Indonesia, yang paling ada “le desir d’etre ensemble”, adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kirakira 2 milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan! Penduduk Yogya pun adalah merasa “le desir d’etre ensemble”, tetapi Yogya pun hanya satu bahagian kecil dari satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan “le desir d’etre ensemble”, tetapi Sunda pun hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan. Pendek kata, bangsa Indonesia—Natie Indonesia—bukanlah sekadar satu golongan orang yang hidup dengan “le desir d’etre ensemble” di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah s.w.t., tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya!, karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada “le desir d’etre ensemble”, sudah terjadi “Charaktergemeinschaft”! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu!

(15) (Tepuk tangan hebat). Ke sinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara Tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan kebangsaan”. Ke sinilah kita harus menuju semuanya. Saudara-saudara, jangan orang mengira, bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Bayern, bukan Saksen32* adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermanialah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italia-lah—yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang di utara dibatasi oleh pegunungan Alpen—adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segitiga India-lah nanti harus menjadi nationale staat. Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di jaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sriwijaya dan di jaman Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya rajaraja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram—meskipun merdeka—bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten—meskipun merdeka—bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanudin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat. Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di jaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau Tuan-tuan terima

-----
32* Kerajaan lama di Jerman, lebih dikenal sebagai Prusia, Bavaria dan Saxony.

(16) baik, marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Liem Koen Hian. Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan Fuku Kaityoo33*, Tuan menjawab: “Saya tidak mau akan kebangsaan”. (Liem Koen Hian: “Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.”) Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena Tuan Liem Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk paham kosmopolitisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya menschheid—perikemanusiaan! Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa ada kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah HBS di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya. Katanya: “Jangan berpaham kebangsaan, tetapi berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikit pun”. Itu terjadi pada tahun ‘17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, ialah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam tulisannya, San Min Chu I atau The Three People’s Principles, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh The Three People’s Principles itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa

-----
33* Wakil Ketua, maksudnya: Soeroso.

(17) menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen,—sampai masuk ke lobang kubur. (Anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan) Saudara-saudara. Tetapi… tetapi… memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang-orang merun-cingkan nasionalisme menjadi chauvinisme,34* sehingga berpaham “In-donesia uber Alles”.35* Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bagian kecil saja dari dunia! Ingatlah akan hal ini! Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan. My nationalism is humanity”. Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang mengatakan “Deutschland uber Alles”. Tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata biru—bangsa Aria—yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedang bangsa lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas asas demikian, Tuan-tuan. Jangan berkata, bahwa bangsa Indonesia-lah yang terbagus dan termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia. Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah philosofisch princiep yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan “internasionalisme”. Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya. Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak

-----
34* Nasionalisme yang berlebih-lebihan.
35* Indonesia di atas semua (bangsa).

(18) berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, Saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2—yang pertama-tama saya usulkan kepada Tuantuan sekalian—adalah bergandengan erat satu sama lain. Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufa-kat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan. Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun, adalah orang Islam—maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna—tetapi kalau Saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pemimpinpemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebathebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusanutusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan rakyat 100

(19) orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, hidup-lah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya di atas bibir saja. Kita berkata, 90% daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada Saudara-saudara sekalian—baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam—setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candra-dimuka, kalau tidak ada perjuangan paham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjuangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat, Saudara-saudara Islam dan Saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter36* di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya sebagian besar dari utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil, fair play!37* Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjuangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah subhanahu wa ta’ala memberi pikiran kepada kita,

-----
36* Huruf (bhs. Belanda).
37* Permainan yang jujur (Bhs. Inggris).

(20) agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah Saudara-saudara prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan! Prinsip No. 4 sekarang saya usulkan. Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy, socialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka. yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, Saudara-saudara? Jangan Saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democratie. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela? Di Amerika ada suatu Badan Perwakilan Rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan-badan perwakilan rakyat yang diadakan di sana itu, sekadar menurut resepnya Fransche Revolutie.38* Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan demokrasi di sana itu hanyalah politieke democratie saja; semata-mata tidak ada socialerechtvaardigheid—tak ada keadilan sosial, tak ada economische democratie sama sekali. Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang menggambarkan politieke democratie. “Di dalam parlementaire democratie,” kata Jean Jaures, “tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak politik yang sama, tiap-tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam parlemen. Tetapi adakah sociale rechtvaardigheid, adakah

-----
38* Revolusi Perancis (bhs. Belanda).

(21) kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?” Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: “Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politik itu, di dalam Parlemen dapat menjatuhkan minister.39* Ia seperti raja. Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja—di dalam pabrik—sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar ke luar ke jalan raya, dibikin werkloos,40* tidak dapat makan suatu apa”. Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki? Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimaksud dengan paham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik, Saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya. Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid 41* dan sociale recht-vaardigheid.42* Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama, Saudara-saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan Kepala Negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarki. Apa sebab? Oleh karena monarki “vooronderstelt erfelijkheid”43*—turun-temurun. Saya orang Islam, saya demokrat

-----
39* Menteri (bhs. Belanda dan Inggris).
40* Menganggur (bhs. Belanda).
41 Keadilan politik.
42* Keadilan sosial.
43* Arti harfiahnya: pewarisan yang diketahui terlebih dahulu (bhs. Belanda).

(22) karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu’minin, harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagoes Hadikoesoemo misalnya, menjadi Kepala Negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya—dengan otomatis— menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarki itu. Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip: 1. Kebangsaan Indonesia. 2. Internasionalisme—atau perikemanusiaan. 3. Mufakat—atau demokrasi. 4. Kesejahteraan sosial. Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber- Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan! Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain. (Tepuk tangan sebagian hadirin) Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid,44* tentang menghormati agama-agama

-----
44* Sifat dapat memahami lain pendapat (bhs. Belanda).

(23) lain, Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini—sesuai dengan itu—menyatakan: bahwa prinsip kelima dari Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa! Di sinilah, dalam pangkuan asas yang kelima inilah, Saudara saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan ber-Tuhan pula! Ingatlah, prinsip ketiga—permufakatan, perwakilan—di situlah tempatnya kita mempropagandakan ide kita masingmasing dengan cara yang tidak onverdraagzaam,45* yaitu dengan cara yang berke-budayaan! Saudara-saudara! “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai pancaindera. Apa lagi yang lima bilangannya? (Seorang yang hadir: “Pendawa Lima.”) Pendawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip— kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan—lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi—saya namakan ini de-ngan petunjuk seorang teman ahli bahasa—namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi. (Tepuk tangan riuh). Atau, barangkali ada Saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah “perasan” yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar- dasarnya Indonesia Merdeka,

-----
45* Tidak sabar, maksudnya: dengan pemaksaan (bhs. Belanda).

(24) Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme—kebangsaan dan perikemanusiaan—saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan sosio-nasionalisme. Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiekeconomische democratie—yaitu politieke democratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan—saya peraskan pula menjadi satu: inilah yang dulu saya namakan sosiodemokrasi. Tinggal lagi Ketuhanan, yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: sosionasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja! Baiklah saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu? Sebagai tadi telah saya katakan: Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia—semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotongroyong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong-royong! (Tepuk tangan riuh-rendah.) “Gotong-royong” adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu paham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, (25) perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntulbaris buat kepentingan bersama! Itulah gotong-royong! (Tepuk tangan riuh-rendah). Prinsip gotong-royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, Saudara-saudara, yang saya usulkan kepada Saudara-saudara. Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila. Tetapi terserah kepada Tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: Trisila, Ekasila ataukah Pancasila? Isinya telah saya katakan kepada Saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada Saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup di dalam masa peperangan, Saudara-saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia,—di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambatlaun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap syukur kepada Allah s.w.t. Berhubungan dengan itu—sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi—barangkali perlu diadakan noodmaatregel, 46* peraturan yang bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Pancasila. Sebagai dikatakan tadi, Saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita. Entah Saudara-saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia,

-----
46* Arti harfiah: aturan darurat (bhs. Belanda).

(26) untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk Ketuhanan. Pancasila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun. Tetapi, Saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah kepada Saudarasaudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf-insyafnya, bahwa tidak ada satu Weltanschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan—menjadi realiteit—jika tidak dengan perjuangan! Jangan pun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan oleh Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen! De Mensch—manusia!—harus perjuangkan itu. Zonder47* per-juangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjuangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjuangan bangsa Tionghoa, Saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: zonder perjuangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit. Jangan pun buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur’an, zwart op wit48*—tertulis di atas kertas—tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjuangan manusia yang dinamakan umat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis di dalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjuangan umat Kristen. Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ketuhanan yang luas dan sempurna— janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya,

-----
47* Tanpa (bhs. Belanda).
48* Hitam di atas putih (bhs. Belanda).

(27) ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia Merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu-padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu Saudara-saudara, bahwa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak berani mengambil resiko—tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekadkan matimatian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai ke akhir zaman! Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad “Merdeka, merdeka atau mati” ! (Tepuk tangan riuh.) Saudara-saudara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap “verschrikkelijk zwaarwichtig”49* itu. Terima kasih! (Tepuk tangan riuh rendah dari segenap hadirin.) ----- 49* Seolah-olah sangat berat sekali (bhs. Belanda).
Sumber: http://www.korwilpdip.org/modules/news/article.php?storyid=4