Selasa, 24 Juni 2008

MELURUSKAN SEJARAH

MELURUSKAN SEJARAH
Oleh: Syamsu Hadi

Orang bilang, bulan Juni adalah bulan-nya Bung Karno. Coba saja perhatikan: tanggal 6 Juni (1901) Bung Karno dilahirkan, tanggal 2 Juni (1970) beliau wafat. Dan yang tidak boleh dilupakan, pada tanggal 1 Juni (1945) Bung Karno menyampaikan pidato tentang Pancasila, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

BPUPKI terdiri dari sekitar 60 tokoh penting bangsa Indonesia dari berbagai lapisan masyarakat. Di antaranya terdapat nama-nama Dr. Radjiman Wediodiningrat, Ki Hadjar Dewantara, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim, dan K.H. Masykur.

Usulan Bung Karno mengenai dasar negara itu mendapat sambutan hangat dari para anggota BPUPKI. Setelah Bung Karno usai berpidato, Ki Hadjar Dewantara minta bicara dan beliau menganjurkan kepada seluruh sidang: "Saudara-saudara sekalian, mari kita terima seluruhnya apa yang diusulkan oleh Bung Karno ini." Padahal Ki Hadjar Dewantara sebelumnya mengusulkan beberapa dasar negara yang lain.

Pancasila akhirnya ditetapkan sebagai dasar negara Republik Indonesia, dan sampai kini tidak ada yang berniat mengubahnya. Kedudukannya sangat penting dalam mempersatukan bangsa Indonesia yang bersifat majemuk itu. Dan seperti kalian telah belajar dari pelajaran sejarah di sekolah, berbagai gerakan yang bersifat anti-Pancasila hancur dengan sendirinya. Contohnya pemberontakan Madiun dan Gerakan 30 September 1965 yang dilakukan kaum komunis. Demikian juga gerakan anti-Pancasila yang dilakukan DI/TII.

Begitu hebatnya Pancasila, sampai di zaman Orde Baru ditetapkan Hari Kesaktian Pancasila. Tetapi sekalipun menganggap Pancasila itu sakti, rezim Orde Baru tidak mau mengakui bahwa Pancasila merupakan hasil pemikiran Bung Karno. Rezim Soeharto berusaha mendiskreditkan Bung Karno dengan mengatakan Pancasila tidak dilahirkan pada tanggal 1 Juni 1945, tetapi 18 Agustus 1945.

Di zaman Orde Baru Pancasila tidak ubahnya barang antik. Ia disanjung-sanjung, tetapi juga di pihak lain dipeti-eskan, tidak boleh diutik-utik. Semua orang harus ikut penataran tentang Pancasila, yang sebenarnya untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru. Bung Karno dicoba disingkirkan dari lembaran sejarah Indonesia, termasuk sebagai pencipta Pancasila.

Konseptor penyelewengan sejarah Pancasila itu adalah Nugroho Notosusanto, yang karena jasanya itu kemudian dipromosikan sebaga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam bukunya berjudul "Naskah Proklamasi yang Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik", Nugroho mengatakan, materi gagasan Pancasila pertama kali dikemukakan oleh Mr. Muhammad Yamin pada sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945. Sementara Ir. Sukarno mengetengahkan gagasan dan nama/istilah Pancasila dalam sidang tanggal 1 Juni 1945, yang berarti kalah dulu dari Yamin. "Teori" Nugroho itu kemudian juga dituangkan dalam bukunya yang lain, "Proses Perumusan Pancasila Dasr Negara".

Nugroho yang guru besar Metode Sejarah di Universitas Indonesia itu mengemukakan "teori"-nya setelah meneliti asal-usul rumusan Pancasila dasar Negara melalui kredibilitas sumber. Tapi lucunya yang dipakai sebagai sumber primer adalah buku Prof. Mr. Muh. Yamin, "Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945" jilid 1. Banyak pihak yang meragukan kredibilitas buku tersebut, karena Yamin tidak mengeditnya, tetapi juga membuang banyak bagian, sehingga notulen itu terasa tidak asli lagi. Bahkan Bung Hatta yakin, pidato itu diselipkan Yamin, dan tidak dibacakan dalam sidang BPUPKI. Celakanya lagi Nugroho tidak memperdulikan kenyataan , bahwa Yamin sendiri dalam bukunya yang lain, "Sistema Filsafah Pantja Sila", mengakui "1 Juni 1945 diucapkan pidato pertama tentang Pancasila" oleh Bung Karno.

Justru Nugroho mengatakan, "rumusan Pancasila yang otentik dan sah, yakni rumusan 18 Agustus 1945". Coba bayangkan, apakah tidak membingungkan jalan pikiran Nugroho ini. Ia berpendapat "lahirnya" Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 saat disahkan Undang-Undang Dasar 1945. Padahal ia mengakui sendiri, dalam UUD '45 itu tidak terdapat istilah Pancasila.

Syukurlah, sebagai kata pepatah, yang busuk akan berbau juga, kelicikan Yamin akhirnya terbongkar. Notulen sidang BPUPKI yang dikenal sebagai "Koleksi Pringgodigdo" ditemukan pada Algemeene Rijksarchief di Den Haag. Sementara di perpustakaan Puri Mangkunegaran, Solo, ditemukan arsip yang dikenal sebagai "Koleksi Muhammad Yamin". Dan seperti diduga, pidato Yamin tanggal 29 Mei 1945 yang menurut Prof. Nugroho "materi gagasan Pancasila pertama kali dikemukakan oleh Mr. Muh. Yamin", ternyata tidak ada.

Tetapi dalam edisi trakhir "Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)", yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia (1995) rezim Orde Baru dengan tanpa malu masih memuat pidato Yamin yang fiktif tu, dengan penjelasan "Naskah Pidato Mr. M. Yamin tidak ditemukan dalam 'Koleksi Mr. M. Yamin' maupun 'Koleksi Pringgodigdo' yang tersimpan di Arsip Nasional". Begitulah, sebuah kebohongan sejarah telah disebarkan oleh instansi resmi di republik ini.

http://www.yayasanbungkarno.or.id/artikel-sejarah.php

Jumat, 20 Juni 2008

Reaktualisasi Pancasila

Reaktualisasi Pancasila
Kamis, 23 Agustus 2007

SILA artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal, dan abadi...demikian pidato Bung Karno mengenai calon dasar negara Pancasila, 1 Juni 1945.

Maka, salah satu dosa Orde Baru ialah: mereka membuat rakyat sekarang merasa tak nyaman ketika harus mengaitkan suatu tema pembicaraan dengan Pancasila. Seolah-olah jika kita membahas suatu masalah dengan perspektif Pancasila, misalnya ekonomi sesuai Pancasila, kesannya seperti menjadi juru bicara Orde Baru lagi.

Pasalnya, selama rezim Orba, Pancasila dijadikan instrumen untuk membungkam aspirasi atau ide alternatif rakyat. Caranya, semua ide atau kemauan penguasa diberi stempel Pancasila. Misalnya demokrasi Pancasila, ekonomi Pancasila, Pendidikan Moral Pancasila, dan seterusnya.
Sebaliknya, segala ide lain dari masyarakat acap dinilai tidak Pancasilais, bahkan distigmatisasi sebagai subversif, desiden, atau bahaya ekstrem kanan dan kiri. Pancasila dijadikan ideologi tertutup. Padahal, jika kita cermati, justru perilaku penguasa Orba sendiri yang sejatinya sangat tidak Pancasilais: korup, otoriter, dan acap menindas rakyat dengan kekerasan.

Walhasil, ketika era reformasi bergulir, Pancasila tetap aman sebagai dasar negara. Tapi ia jarang disebut-sebut, jarang dibicarakan lagi, dan karena itu juga jarang dijadikan rujukan pembuatan kebijakan (policy making) para penyelenggara negara. Pancasila menjadi seperti barang antik: dipajang dan kadang dibanggakan, tapi substansinya tak lagi dicoba diimplementasikan dalam kenyataan. Ia dianggap sesuatu yang kuno atau bagian dari masa lalu saja.

Kecenderungan demikian itu menyedihkan. Sebab, sebagai dasar filsafat negara atau pandangan hidup bangsa, Pancasila mestinya menjadi sumber rujukan abadi bagi perjuangan bangsa dan negara ini. Tentu yang dimaksud bukanlah versi butir-butir Pancasila ala Orde Baru (P4) yang menjadi sarana merepresi warga negara. Akan tetapi, ialah Pancasila dalam Pembukaan UUD 45, yang uraian sistematisnya disampaikan bapak bangsa, Bung Karno, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni1945.

Panduan Bernegara

Patut diketahui, meski secara formal baru disampaikan 1 Juni 1945, bukan berarti Pancasila ialah gagasan instan yang tak terpikirkan secara matang. Bung Karno di depan BPUPKI menjelaskan, ia telah memikirkan dasar negara Pancasila 27 tahun lamanya: “...saya berjuang sejak 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk weltanschauung (Pancasila) itu... Pancasila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun,” katanya.
Tapi, sayang, Pancasila lalu direduksi rezim Orde Baru menjadi sebatas panduan akhlak rakyat (P4) atau sebagai senjata politik penindas oposisi. Padahal mestinya, sebagai dasar negara, Pancasila ialah panduan akhlak bernegara, perilaku lembaga-lembaga negara, dan interaksi antarwarga negara. Akhlak rakyat sebagai pribadi sudah diatur masing-masing agama warga negara.

Maka, kinilah saatnya Pancasila kita kembalikan menjadi panduan perilaku bernegara dan rujukan pembuatan kebijakan publik. Dalam konteks ini, kita dapat memandang gerakan reformasi 1998 sebagai upaya aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam dataran kenyataan.
Kenapa? Sebab, agenda reformasi yang diperjuangkan para mahasiswa dan aktivis pada 1998 hakikatnya sesuai Pancasila sebagai dasar negara. Misalnya ihwal pencabutan dwifungsi ABRI dan amandemen UUD 45 searah asas kedaulatan rakyat atau demokrasi dalam sila keempat. Pemberantasan KKN sejalan kaidah demokrasi ekonomi sila kelima. Pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya merupakan upaya memelihara tetap langgengnya persatuan bangsa dalam sila ketiga, dan seterusnya.

Karenanya, arah perjalanan bangsa di segala bidang ke depan pun tak boleh lepas dari kerangka pandang Pancasila. Pancasila harus kembali menjadi paradigma atau kriteria penilai, apakah arah reformasi berada pada jalur yang benar (on the right track) atau belum. Termasuk di sini Pancasila juga menjadi ukuran untuk mengkritisi masa lalu.
Dalam reformasi ekonomi, misalnya, kita patut bertanya apakah kebijakan pemerintah saat ini yang amat properdagangan bebas, privatisasi, minimalisasi subsidi, dan seperangkat resep neoliberal lainnya, sesuai prinsip keadilan sosial atau demokrasi ekonomi. Jika tak sesuai, lalu perekonomian macam apa yang dikehendaki dasar negara kita? Saat ini, lantaran sedang menjadi tren dunia, seolah hanya perdagangan bebas yang menjadi kebenaran tunggal dan nyaris tiada yang mempertanyakannya.

Semasa Orde Baru sama saja. Dulu koperasi kerap disebut sokoguru perekonomian Pancasila, kendati nyatanya praktek ekonomi lebih bersifat kapitalisme kroni yang berbasis korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sementara koperasi juga sering menjadi sarang korupsi pengurusnya dan sarana mengeksploitasi para anggotanya.

Di sinilah tugas kita: mencari formula sistem ekonomi yang tak cuma mengejar kemakmuran individual tapi juga berkeadilan sosial. Suatu sistem yang, menurut Bung Karno, tak hanya menjamin kesetaraan politik, tapi juga kesejahteraan bersama. Suatu sistem yang menjanjikan demokrasi politik sekaligus demokrasi ekonomi.

Proses Menjadi

Sebagai dasar negara, menurut Bung Karno, Pancasila –seperti ideologi lainnya— ialah gagasan ideal (teori) yang harus terus diperjuangkan implementasinya dalam kenyataan (praksis). Dengan kata lain, apa yang disebut dasar negara atau pandangan hidup Pancasila adalah proses yang menjadi (dinamis), bukan sesuatu yang sudah jadi (statis).
Pancasila ibarat cita-cita tinggi di langit, yang dengan tetesan keringat, air mata, bahkan darah, harus kita upayakan menjadi kenyataan di bumi Indonesia. Prinsip kerakyatan atau demokrasi sila keempat, misalnya, baru betul-betul dapat kita rasakan kehadirannya setelah 32 tahun Orde Baru berkuasa. Itu pun setelah puluhan tahun harus terus diperjuangkan para aktivis yang berpuncak dengan gerakan mahasiswa dan rakyat pada 1998, lengkap dengan korban nyawa para anak bangsa. []

Sumber: http://www.ariabimanews.com/index.php?option=com_content&task=view&id=44&Itemid=27

Selasa, 17 Juni 2008

HARI LAHIR PANCASILA, 1 JUNI 1945

Untag-Net Menjelang kekalahannya di akhir Perang Pasifik, tentara pendudukan Jepang berusaha menarik dukungan rakyat Indonesia dengan membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mendapat giliran untuk menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia Merdeka, yang dinamakannya Pancasila. Pidato yang tidak dipersiapkan secara tertulis terlebih dahulu itu diterima secara aklamasi oleh segenap anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai.

Selanjutnya BPUPKI membentuk Panitia Kecil untuk merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar dengan berpedoman pada pidato Bung Karno itu. Dibentuklah Panitia Sembilan (terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, HA Salim, Achmad Soebardjo dan Muhammad Yamin) yang bertugas : Merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara berdasar pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dan menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Demikianlah, lewat proses persidangan dan lobi-lobi akhirnya Pancasila penggalian Bung Karno tersebut berhasil dirumuskan untuk dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, yang disahkan dan dinyatakan sebagai dasar negara Indonesia Merdeka pada tanggal 18 Agustus 1945.

Dalam kedudukan sebagai pemimpin bangsa, Bung Karno tidak pernah melepaskan kesempatan untuk tetap menyosialisasikan Pancasila. Lewat bebagai kesempatan, baik pidato, ceramah, kursus, dan kuliah umum, selalu dijelas-jelaskannya asal-usul dan perkembangan historis masyarakat dan bangsa Indonesia, situasi dan kondisi yang melingkupinya, serta pemikiran-pemikiran dan filosofi yang menjadi dasar dan latar belakang "lahirnya" Pancasila. Juga selalu diyakin-yakinkannya tentang benarnya Pancasila itu sebagai satu-satunya dasar yang bisa dijadikan landasan membangun Indonesia Raya dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke, yang merdeka dan berdaulat penuh, demokratis, adil-makmur, rukun-bersatu, aman dan damai untuk selama-lamanya.

Meskipun telah menjadi dasar negara dan filsafat bangsa, pada sidang-sidang badan pembentuk Undang-Undang Dasar (Konstituante) yang berlangsung antara tahun 1957 sampai dengan 1959, Pancasila mendapat ujian yang cukup berat. Tapi berkat kuatnya dukungan sebagian besar rakyat Indonesia, lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Pancasila tetap tegak sebagai dasar negara dan falsafah bangsa Indonesia.

Tetapi ternyata pihak neo-kolonialis dan pihak yang anti-Pancasila tidak tinggal diam. Setelah meletusnya G30S pada tahun 1965, tidak hanya Sukarno yang harus "diselesaikan" dan "dipendhem jero", bukan hanya Republik Proklamasi yang harus diberi warna dan diperlemah, tetapi juga roh bangsai yang bernama Pancasila itu harus secara halus dan pelan-pelan ditiadakan dari bumi Indonesia.

Dengan melalui segala cara dilakukanlah upaya untuk menghapuskan nama Sukarno dalam kaitannya dengan Pancasila. Misalnya, dinyatakan tanggal 18 Agustus 1945 sebagai hari lahir Pancasila, bukan 1 Juni 1945. Demikian juga disebutkan, konsep utama Pancasila berasal dari Mr. Muh. Yamin, yang berpidato lebih dahulu dari Bung Karno.

Tetapi kebenaran tidak bisa ditutup-tutupi untuk selamanya. Ketika pemerintah Belanda menyerahkan dokumen-dokumen asli sidang BPUPKI, terbuktilah bahwa pidato Yamin tidak terdapat di dalamnya. Dengan demikian gugur pulalah teori bahwa Yamin adalah konseptor Pancasila. Maka polemik mengenai Pancasila pun berakhir dengan sendirinya.

Tapi sebagai akibat akumulatif dari polemik Pancasila itu, akhirnya orang menjadi skeptis terhadap Pancasila, kabur pemahaman dan pengertian-pengertiannya, dan menjadi tidak yakin lagi akan kebenarannya. Pancasila semakin hari semakin redup, semakin sayup, tak terdengar lagi gaung dan geloranya.

Apalagi bersamaan dengan kampanye "menghabisi" Bung Karno itu dipropagandakan tekad untuk melaksanakan Pancasila "secara murni dan konsekuen". Padahal di balik kampanye itu, sistem dan praktek-praktek yang dilaksanakan justru penuh ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kekejaman, penindasan dan penginjak-injakan hak asasi manusia; penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme; penuh dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan tindakan-tindakan yang anti-demokrasi dan a-nasional. Kesemuanya itu akhirnya membawa bangsa ini serba terpuruk dan mengalami krisis di segala bidang (krisis multidimensional) yang menyengsarakan rakyat dan mengancam kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang sangat jauh dari cita-cita segenap bangsa Indonesia.

Yang menyedihkan, krisis itu menimbulkan kesimpulan, bahwa yang salah selama ini adalah dasar negara dan falsafah bangsa Pancasila, dan bukannya kesalahan pelaksana atau dalam pelaksanaannya.

Menyadari akan semuanya itu, maka dirasa sangat perlu untuk menyebarluaskan kembali Pancasila ajaran Bung Karno ke segenap lapisan masyarakat dan terutama generasi muda Indonesia, agar kita semua bisa memahaminya secara utuh, meyakini akan kebenarannya, dan siap untuk memperjuangkan dan melaksanakannya.

Untuk itu dalam himpunan ini, selain pidato Lahirnya Pancasila, juga disertakan ceramah, kursus atau kuliah umum yang pernah diberikan oleh Bung Karno dalam berbagai kesempatan. Misalnya kursus-kursus Pancasila yang berlangsung selama beberapa bulan di Jakarta, ceramah pada seminar Pancasila di Yogyakarta, dan pidato peringatan Pancasila di Jakarta.

Kami yakin, bahwa kehadiran sebuah buku yang berisi pidato "Lahirnya Pancasila" beserta rangkaian uraian yang menjelaskannya, yang berasal dari tangan pertama ini akan sangat diperlukan oleh segenap putera tanah air yang terus berusaha menjaga dan mengisi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Semoga bermanfaat.

Ditulis di Jakarta, 11 Maret 2005, Penghimpun : Drs. Soewarno, melalui situs Yayasan Bung Karno di http://www.yayasanbungkarno.or.id

Jumat, 13 Juni 2008

Kontroversi Hari Lahir Pancasila

Akhiri Kontroversi Lahirnya Pancasila
Oleh
Asvi Warman Adam

Pada 1 Juni 2006 -hari ini- Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) akan berpidato tentang lahirnya Pancasila di Balai Sidang Jakarta. Apakah dengan acara itu, kontroversi lahirnya Pancasila akan berakhir? Apakah berarti nama baik Bung Karno otomatis sudah direhabilitasi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melakukan kilas balik.

Rekayasa sejarah lahirnya Pancasila berlangsung sejak awal Orde Baru untuk mengecilkan jasa Soekarno dan melebih-lebihkan peran Soeharto. Selain memberi legitimasi historis kepada Jenderal Soeharto, itu dilakukan untuk menghilangkan peluang bagi pendukung (ajaran) Soekarno tampil di kancah politik nasional.

Terkait dengan 1 Juni 1945 saat Soekarno berpidato tentang dasar negara yang dinamainya Pancasila, M. Yamin telah berpidato sebelum Bung Karno. Supomo pun disebutkan telah menguraikan soal dasar negara. Bahkan, pada buku-buku sejarah yang digunakan di sekolah, Pancasila merupakan karya seluruh bangsa Indonesia sejak zaman purbakala hingga masa sekarang.

Sejak 1 Juni 1970, Kopkamtib melarang peringatan lahirnya Pancasila. Pada 22 Juni tahun yang sama, mantan Presiden Soekarno wafat. Sejarawan Prancis Jacques Leclerc mengatakan bahwa pada hakikatnya, Bung Karno telah dibunuh dua kali. Secara fisik, dia dalam status "tahanan rumah" tidak dirawat sebagaimana semestinya sehingga kesehatannya terus memburuk dan akhirnya meninggal, sedangkan pemikirannya dilarang untuk didiskusikan.

Kontroversi lahirnya Pancasila itu dimulai pada awal Orde Baru dengan terbitnya buku tipis Nugroho Notosusanto berjudul "Naskah Proklamasi jang otentik dan Rumusan Pancasila jang otentik" (Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan-Keamanan, 1971).

Dalam buku itu, Nugroho mengatakan bahwa ada empat rumusan Pancasila. Yaitu, yang disampaikan Muh. Yamin (29 Mei 1945), Soekarno (1 Juni 1945), berdasar hasil kerja Tim Sembilan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta (22 Juni 1945), dan sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 (18 Agustus 1945). Menurut Nugroho, rumusan Pancasila yang otentik adalah rumusan 18 Agustus 1945 karena Pancasila yang termasuk dalam pembukaan UUD 1945 itu dilahirkan secara sah (yakni berlandaskan proklamasi) pada 18 Agustus 1945.

Pada akhir leaflet itu, Nugroho menandaskan: "Kiranya tidak perlu lahirnya Pancasila itu kita kaitkan kepada seorang tokoh secara mutlak. Sebab, lahirnya sesuatu gagasan sebagai sesuatu yang abstrak memang tidak mudah ditentukan dengan tajam. Yang dapat kita pastikan adalah saat pengesahan formal dan resmi suatu dokumen".

Manuver sejarah yang pada awalnya bersumber dari Pusat Sejarah ABRI itu kemudian ditentang sejarawan dan pelaku sejarah. A.B. Kusuma dalam makalah berjudul Menelusuri Dokumen Historis Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan berdasar notulen yang telah ditemukan kembali 1989 mengatakan, tidak benar bahwa Muh. Yamin yang pertama mengungkapkan dasar negara Pancasila. Hal itu kemudian ditegaskan dalam buku A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta, 2004).

Yamin sendiri dalam bukunya mengakui Soekarno sebagai penggali Pancasila. Panitia Lima yang diketuai Hatta juga mengakui Sukarno yang pertama berpidato tentang Pancasila. Ada pula sejarawan, seperti Dr Anhar Gonggong, yang masih ragu-ragu untuk menyatakan bahwa Soekarno sebagai penggali Pancasila. Menurut Anhar, Soekarno sangat berperan dalam tiga peristiwa yang berhubungan dengan proses lahirnya Pancasila, yaitu 1 Juni, 22 Juni, dan 18 Agustus 1945.

Pada ketiga kejadian itu, Soekarno menduduki posisi penting (1 Juni sebagai penyampai pidato, 22 Juni sebagai ketua Tim Sembilan yang melahirkan Piagam Jakarta, dan 18 Agustus 1945 sebagai ketua PPKI yang kemudian dipilih secara aklamasi sebagai presiden RI.

Tokoh Pertama

Berdasar uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Soekarno memang tokoh yang pertama menyampaikan Pancasila sebagai dasar negara. Ada tokoh-tokoh lain yang berbicara sebelumnya, tetapi hanya Soekarno yang secara eksplisit menyampaikan gagasan tentang Pancasila, termasuk nama Pancasila itu sendiri sebagai dasar negara. Formulasi Pancasila yang disampaikan Soekarno, 1 Juni 1945, setelah melalui dinamika pembicaraan di antara founding fathers kita, dirumuskan menjadi Pancasila seperti yang kita kenal sekarang, yang tidak sama persis rumusan/urutannya dengan yang disampaikan Bung Karno pada 1 Juni 1945.

Peringatan lahirnya Pancasila setiap 1 Juni seyogianya tidak lagi mempersoalkan kontroversi yang diciptakan pada era Orde Baru, melainkan lebih memusatkan perhatian tentang penerapan ideologi pada semua bidang kehidupan bangsa. Bagaimana cara meyakinkan segenap komponen bangsa bahwa Pancasila adalah ideologi yang paling tepat bagi bangsa kita?

Pancasila memberi tempat kepada semua agama, golongan, dan suku bangsa. Tidak ada yang tersisih. Kalau mau memilih ideologi lain, itu pasti menimbulkan friksi dan ketakutan bagi golongan yang tidak setuju.

Seyogianya, 1 Juni ditetapkan sebagai salah satu hari besar nasional dan dinyatakan hari libur. Bukan berarti, itu menambah hari libur secara keseluruhan. Namun, kami berpendapat bahwa hari-hari besar yang ada selama ini perlu ditinjau ulang. Hari libur yang merupakan peringatan keagamaan mungkin dapat dikurangi, sedangkan peringatan yang bersifat kebangsaan ditambah (termasuk Hari Pahlawan 10 November).

Jangan Mengultuskan

Dalam kesempatan memperingati lahirnya Pancasila, sebaiknya, kita berniat tidak mengultuskan seseorang. Kita menghargai jasa Soekarno sebagai penggali Pancasila, sungguhpun rumusan Pancasila yang sekarang kita gunakan adalah hasil rumusan kolektif bapak-bapak pendiri bangsa. Kita tidak boleh lagi melakukan kultus individu.

Bila lahirnya Pancasila 1 Juni diperingati setiap tahun, itu dapat menghilangkan salah satu kontroversi sejarah yang diciptakan rezim Orde Baru. Namun, bukan berarti nama baik Soekarno telah dipulihkan. Pelecehan terhadap Soekarno tampak dalam TAP MPRS No XXXIII/1967 tentang pengalihan kekuasaan terhadap Soeharto.

Kita tidak menggugat pengalihan kekuasaan tersebut karena itu telah terjadi. Tetapi, konsiderans yang menyebutkan Soekarno melakukan kebijakan yang "menguntungkan G-30-S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G-30-S/PKI" perlu dipertanyakan.

Kalau diakui bahwa G30S/1965 itu merupakan gerakan kudeta untuk menggulingkan Presiden Soekarno, kenapa Soekarno justru memihak dan melindungi pelakunya? Ketika Soekarno masih menjadi presiden, apakah masuk akal dia membantu kelompok yang ingin menggulingkan dirinya sendiri. Perlu direhabilitasi nama baik sang proklamator kemerdekaan.

Dr Asvi Warman Adam, sejarawan, ahli peneliti utama LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) di Jakarta.

Posting lain mengenai kontroversi 1 Juni lihat blog berikut:
http://yudhitc.wordpress.com/2008/05/29/kontroversi-buku-yamin/

http://jbahonar.blogspot.com/2008/04/kontroversi-1-juni-1945.html

Kamis, 12 Juni 2008

Pancasila Jaminan Keragaman dan Persatuan

Pancasila Jaminan Keragaman dan Persatuan
Tim liputan KBR 68h
01-06-2006


Politik identitas belakangan semakin menguat. Dengan mengatasnamakan agama atau suku, orang dengan mudah menyerang orang lain, terutama mereka yang berbeda dan dianggap bukan bagiannya. Pemisahan semakin menguat dan munculnya gerakan menerapkan syariat Islam di sejumlah tempat, membuat berbagai kalangan resah. Untuk menangkal ide ini, sejumlah kalangan mengajak masyarakat kembali kepada Pancasila.

Mars Pancasila terlupakan
Dulu, lagu Mars Pancasila sering terdengar. Bagaimana tidak, tiap upacara Senin, lagu ini selalu dikumandangkan. Mulai murid SD hingga para pegawai negeri wajib menghapal lagu Pancasila. Tapi kini keadaan telah berubah.

Walau masih kerap dinyanyikan, misalnya dalam upacara kenegaraan, sebagian besar masyarakat mulai melupakan lagu ini. Aris, seorang penjual soto ayam adalah contohnya. Setelah meninggalkan bangku sekolah tahun 2001, Aris mengaku tak pernah lagi menyanyikan lagu Pancasila. Liriknya pun kini sudah mulai terlupakan.

Aris: 'Terakhir? Wah gua gak tau nih. Lupa gua bener. Udah lama soalnya gua nganggur. Abis sekolah. Sekitar tahun 2001. Abis itu nganggur. (Sejak 2001 gak pernah nyanyiin lagi ya?) Iya. Lupa kayanya. Hapal sih sedikit-sedikit'.

Penyakit lupa juga menghinggapi Lia, seorang karyawan swasta di Jakarta. Maklum, sejak lulus SD pada tahun 1980an, Lia mengaku tidak pernah menyanyikan lagu wajib nasional ini.

Lia: (Terakhir mbak menyanyikan lagu ini kapan? ) 'SD (itu berapa tahun yang lalu?) saya lulus tahun 1980-an…(SMP, SMA itu gak pernah nyanyi lagi?) enggak pernah'.

Pancasila, termasuk marsnya, memang tengah kehilangan pamor. Sejak Soeharto dilengserkan delapan tahun silam banyak kalangan malu bicara soal lima dasar negara ini. Sejarawan Anhar Gonggong bisa memahami hal ini, dan itu karena ulah presiden-presiden Soekarno dan Soeharto yang memperalat Pancasila, dan memaksakannya melalui indoktrinasi.

Anhar Gonggong: 'Saya kira ada benarnya orang melupakan Pancasila, bahkan orang malu membicarakannya. Dan itu merupakan salah satu kelemahan. Tapi persoalannya juga terletak pada bahwa dua kekuasaan baik Soekarno maupun Soeharto tidak pernah merumuskan secara serius dan kemudian merealitaskannya. Saya menggunakan istilah Bung Karno merealitaskan apa yang disebut Pancasila itu. Mereka membuat indoktrinasi manipol usdek, kemudian BP 7. Itu semua kan retorika-retorika yang kemudian mengaburkan pemahaman Pancasila itu sendiri'.

Kembali menemukan makna
Sementara, bekas menteri pendidikan dan kebudayaan Fuad Hasan menilai, Pancasila terlanjur menjadi cap Orde Baru, sehingga dikait-kaitkan dengan zaman penindasan. Namun kini, demikian Fuad Hasan, Pancasila seolah kembali menemukan makna. Keragaman agama dan budaya menurut Fuad, bisa disatukan lewat Pancasila.

Fuad Hasan: 'Nah coba dilihat, tujuannya ialah mempunyai satu wawasan ideologis ya. Bung Karno menyebutnya dengan berbagai macam istilah, Weltanschauung dan sebagainya, yang menggalang kebersamaan Indonesia. Jadi Pancasila itu sebagai payung yang bisa menggalang kebersamaan kita sebagai bangsa. Secara ideologis ya. Sekarang mulai mudar, memudar gitu'.

Pemugaran Pancasila
Di tengah anggapan sudah lagi tidak menarik, ternyata ada juga upaya mempertahankan bahkan menghidupkan kembali dasar negara ini. Salah satunya dilakukan oleh Robertus Robert, anggota kelompok kerja perhimpunan pendidikan demokrasi. Bersama rekan-rekannya, Robert mencoba memugar kembali nilai-nilai Pancasila.

Robertus Robert: 'Enggan dengan Pancasila, karena apa, karena Pancasila itu pernah dipakai secara tidak benar di era Soeharto. Nah di titik ini ya, selain kita butuh Pancasila, kita juga butuh apa yang disebut restorasi Pancasila. Pemugaran kembali Pancasila. Kenapa disebut restorasi atau pemugaran? Karena pemugaran itu kan kita membetulkan kembali apa-apa yang rusak. Mengembalikan dia pada aslinya. Ini Pancasila kita perlukan untuk ita pugar kembali. Sehingga dia aktual untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan berdemokrasi sekarang ini'.

Selain sangat dibutuhkan untuk berdemokrasi, Pancasila, kata Robert, juga bisa untuk menangkal keinginan sebagian kelompok mengubah Indonesia menjadi negara Islam.

Terbelah dalam banyak hal
Pengamat Politik Daniel Sparingga menjelaskan sila ketiga Persatuan Indonesia adalah penanda kemajemukan. Sila ini, menurut Daniel mengingatkan bangsa Indonesia supaya terus bersatu padu dalam sebuah persatuan.

Kini, sila ketiga Pancasila terancam oleh gagasan sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam. Menurut Sparingga, ancaman perpecahan bangsa terlihat misalnya dalam kasus pro kontra Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi & Pornoaksi.

Daniel Sparingga: 'Dalam banyak perkara kita terbelah. Terbelah bahkan hitam putih, kiri dan kanan. Misalnya walaupun itu bisa disamarkan, ditutup-tutupi, dengan cara yang terang-terangan atau agak tersamar, percakapan, perdebatan tentang RUU pornografi dan pornoaksi jelas satu isu yang membelah bangsa ini, lebih serius dari yang pernah dikatakan atau disadari. Saya kira national unity itu merupakan salah satu yang tengah mengalami ancaman yang serius'.

Upaya sistematis mengganti dasar negara
Cendekiawan muslim Dawam Rahardjo bahkan menilai ada upaya sistematis untuk mengganti dasar negara. Dawam menuding kelompok Islam garis keras sedang berupaya menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, dengan menerapkan syariat lewat pelbagai peraturan, baik di tingkat daerah maupun di pusat.

Dawam Rahardjo: 'Misalnya dewasa ini ya telah terjadi perpecahan, pengingkaran hak-hak sipil. Termasuk misalnya pemberangusan terhadap kebebasan beragama. Dan kemudian demokrasi itu hanya jadi demokrasi yang prosedural formal dan lain sebagainya, tapi tidak menengok pada nilai dan sebagainya'.

1 Juni tanggal lahir Pancasila
Sebagai dasar negara, Pancasila lahir 1 Juni 1945. Hanya berselang dua bulan sebelum kemerdekaan. Konsepsi ideologi negara ini dicetuskan Soekarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, BPUPKI. Seperti biasa hal-hal yang berbau Soekarno tidak diakui oleh Soeharto. Selama lebih dari 30 tahun Orde Baru, sejarawan dan penatar P4 tidak berani menyatakan 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila. Ketika sekarang Pancasila kembali dirindukan orang, mungkin sudah tiba saatnya untuk mengingat-ingat tanggal 1 Juni sebagai hari lahirnya.

Tim Liputan KBR 68h Melaporkan untuk Radio Nederland di Hilversum.

Rabu, 11 Juni 2008

Pancasila, Mitos, dan Realitas

KOMPAS, Sabtu, 02 Juni 2007
Pancasila, Mitos, dan Realitas
M Dawam Rahardjo


Dewasa ini banyak kalangan dan perorangan yang mempertanyakan Pancasila, apakah masih sebagai ideologi negara, falsafah, atau cara hidup bangsa Indonesia. Apakah Pancasila merupakan kenyataan hidup di Indonesia (living reality) ataukah hanya merupakan mitos belaka.

Dalam kenyataan, hari lahir Pancasila, 1 Juni 1945, masih terus diperingati dengan upacara-upacara khidmat, pernyataan kebulatan tekad, disertai diskusi dan seminar. Para pejabat pemerintah atau para tokoh pergerakan selalu mengutipnya. Namun, pihak lain menilai, sebenarnya Pancasila sudah ditinggalkan, bahkan telah dilanggar, diselewengkan, atau dikhianati.

Puncak pemikiran ideologis

Meski dikritik oleh beberapa kalangan bahwa Pancasila telah disakralkan karena dianggap keramat atau sakti—apa pun maknanya—sekalipun atau justru dipakai sebagai mantra yang sakti dan kuat daya legitimasinya. Melihat pudarnya Pancasila, pihak lain menghubungkannya dengan teori Daniel Bell mengenai the end of ideology, berakhirnya peran ideologi pada pertengahan abad ke-20. Ini berkebalikan dengan keyakinan yang sebagaimana diyakini Mubyarto, Sri-Edi Swasono, dan Sritua Arief bahwa Pancasila adalah the end of history sebagai puncak atau final perkembangan pemikiran ideologis bangsa Indonesia meminjam tesis Francis Fukuyama untuk faham demokrasi liberal.

Melihat kenyataan itu, orang tidak lagi peduli dengan Pancasila. Dengan kata lain, ada dan tiadanya ideologi itu bukan merupakan persoalan atau dengan istilah fikih, wujuduhu ka adamuhu.

Bukankah banyak negara maju di dunia tidak memiliki ideologi seperti Pancasila? Tanpa ideologi mereka bisa lebih maju karena tidak terikat doktrin yang totaliter yang membatasi kebebasan berpikir dan bertindak. Tanpa ideologi mereka lebih bebas mengembangkan dan menggunakan ilmu pengetahuan yang sudah menggantikan peran ideologi itu.
Jika demikian, persoalannya adalah dalam landasan dan kerangka nilai apa kita membangun masyarakat dan negara? Karena, ilmu pengetahuan dan peradaban apa pun memerlukan landasan nilai. Tanpa Pancasila sebagai sistem nilai, apa pun yang sentrifugal sifatnya bisa timbul. Dalam anomali, negara seolah tak punya penjaga gawang, pagar, atau rambu-rambu moral.

Dalam keadaan demikian, bisa marak lagi wacana atau bahkan gerakan negara federal. Masyarakat yang terdiri dari suku, ras, agama, dan golongan akan kehilangan tali pengikat. Dengan kata lain, solidaritas yang oleh Ibn Khaldun dianggap sebagai fondasi masyarakat dan peradaban akan cair. Nasionalisme dan wawasan atau kebangsaan akan pudar. Bisa timbul sektarianisme dan primordialisme baru.

Indonesia sebagai bangsa dan masyarakat akan mengalami disintegrasi. Bahkan dalam masyarakat akan timbul anomali, masyarakat yang tanpa pegangan nilai. Banyak orang sangsi, apakah Pancasila sendiri mengandung pegangan nilai yang benar terurai rinci.
Pada masa Orde Baru kita mempunyai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Tetapi, P4 itu sudah dihapus bersamaan ditolaknya program indoktrinasi. Betapapun, Pancasila pernah ada rinciannya. Hanya saja penafsirannya saat itu dianggap sebagai penafsiran tunggal yang dibingkai totalitarianisme.

Kini, gagasan untuk memberikan tafsir resmi kepada Pancasila telah ditolak sehingga masyarakat diberi kebebasan untuk memberi penafsiran dari berbagai sudut pandang dan perspektif yang berbeda. Hasilnya tentu beragam penafsiran yang saling berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain, tetapi hal ini justru membuat wacana menjadi dinamis.
Nurcholish Madjid pernah berkata, Pancasila adalah ideologi terbuka yang memungkinkan berubah dan berkembang, sebab sebagaimana dalam epistemologi Marxis, kondisi itu memengaruhi kesadaran. Dengan kata lain, perkembangan nilai itu sejalan dengan perkembangan masyarakat. Karena itu, Pancasila tak bisa menjadi ideologi tertutup, yaitu tertutup dari pengaruh luar.

Tafsir Pancasila

Berbicara dalam konteks teori mutakhir Colemen dan Fukuyama, Pancasila yang menjadi jaminan saling percaya antar- anak bangsa, gotong-royong atau solidaritas ini dapat ditafsirkan sebagai nilai trust, yakni suatu modal sosial yang menjadi faktor kemajuan suatu bangsa, seperti telah dicapai Jerman, Jepang, dan Amerika.

Di lain pihak dipertanyakan, mengapa Indonesia masih menjadi bangsa dan negara terbelakang yang diganggu berbagai persoalan, seperti korupsi, konflik, terorisme, dan tindak kekerasan atas nama agama dan berbagai gejala disintegrasi?

Ada beberapa jawaban hipotesis dalam hal ini. Tiadanya keteladanan elite, terutama pejabat pemerintahan dan politisi. Bahkan, mereka menjadi contoh buruk dalam korupsi yang memalukan.

Kedua, Pancasila belum dipahami, terutama di kalangan elite dan kelas menengah, meski sebagian antropolog mengatakan, Pancasila justru hidup di kalangan rakyat pedesaan. Jika pedesaan juga dinilai rusak, itu adalah pengaruh kota melalui politik dan pemerintahan.
Ketiga, masyarakat dipengaruhi budaya asing yang dibawa kapitalisme dan globalisasi. Ketahanan itu tampak rawan karena masyarakat Indonesia kurang pendidikan dan miskin. Karena itu, solusi untuk menegakkan Pancasila adalah pemberantasan kebodohan dan kemiskinan.

Pancasila bertolak dari gagasan Bhinneka Tunggal Ika, yakni keragaman dalam persatuan sebagai ciri masyarakat Indonesia. Menurut Dyenis Lombart, Indonesia dibangun dalam geologi kebudayaan berlapis-lapis yang menghasilkan masyarakat yang plural dan multikultural yang mengandung potensi konflik, karena itu harus ada ideologi yang mampu mengendalikannya, yaitu pluralisme.

Pancasila juga dibangun berdasarkan geologi kebudayaan sejak agama Buddha, Hindu, Islam, Konghucu, dan Kristen. Maka, Pancasila juga merupakan jawaban terhadap tantangan masyarakat yang makin kompleks dan majemuk dewasa ini.

M Dawam Rahardjo Ketua Lembaga Studi Agama dan Filsafat

Senin, 09 Juni 2008

Pancasila Harus Dipegang Teguh

Bung Hatta
Pancasila Harus Dipegang Teguh

Perlulah saya uraikan sepintas tentang isi dan inti dari Pancasila itu.*) Pancasila artinya 5 dasar untuk pedoman menyusun negara, yaitu 1. Ketuhanan Yang Maha Esa; 2. Perikemanusiaan ; 3. Kebangsaan; 4. Kedaulatan Rakyat dan 5. Keadilan Sosial.

Isi dari dasar Ketuhanan Yang Maha Esa ialah mengakui suatu kekuasaan di atas manusia. Dasar ini oleh semua golongan bisa dipakai menurut agamanya masing-masing. Masing-masing golongan bisa memahami arti Ketuhanan Yang Maha Esa itu menurut paham agamanya. Tetapi, nyatalah bahwa inti dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu ialah penghargaan manusia sebagai makhluk Tuhan. Jikalau di antara manusia dengan manusia tidak ada harga menghargai, maka tidak bisa dicapai suatu susunan dunia. Di antara manusia ada yang kaya ada yang iniskin, ada yang berbeda kecakapannya, ada yang bodoh ada yang pintar, tetapi sebagai manusia makhluk Tuhan ia dipandang sama.

Selain dari persaudaraan antara manusia dengan manusia, juga supaya dunia yang terganggu dengan perang bisa terhindar dari bencana. Itulah tujuan dari segala agama. Dan juga menjadi tujuan dari semua ideologi yang berdasar sosialisme.

Selain dari itu pada bagian ketiga kita harus menyelenggarakan persahabatan antara bangsa dengan bangsa. lni penting sekali untuk masa yang akan datang, untuk mencapai dunia yang berdasarkan perdamaian yang kekal. Perang pada waktu ini semakin hari semakin hebat. Dulu yang mati di dalam peperangan hanyalah prajurit; yang berada di kota-kota selamat, malahan dalam hukum internasional pada abad yang lalu diadakan peraturan untuk melindungi penduduk sipil dengan mengadakan peraturan kota terbuka, yang tidak boleh ditembaki. Tetapi dalam Perang Dunia I tahun 1914 dasar ini sudah dilanggar dan malahan pada Perang Dunia II orang tidak merasa aman lagi. Orang menggali lubang dan hidup di dalam lubang, takut tertimpa hujan bom. Dengan timbulnya kapal udara, bahaya perang semakin hebat, seolah-olah manusia kembali ke abad belakang, mencari lubang untuk perlindungan diri. Sekarang dengan adanya atom orang merasa lebih lebih tidak aman lagi. Atom bisa menjalar sampai ke lubang-lubang dan ini berarti di dalam kota pun orang akan tidak merasa aman lagi. Inilah akibat dari peperangan sekarang. Jikalau kita lihat perang Korea sekarang akan tampak berapa banyak kota yang binasa, berpuluh juta yang tewas, sedang di antara yang tewas banyak pula rakyat biasa daripada mereka yang tewas di medan perang.

Keganasan peperangan sekarang ini menuntut kita menyelenggarakan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Inilah pedoman kita untuk menjalankan politik luar negeri di atas dasar, harga-menghargai. Jikalau hanya kita yang berjuang ke jurusan ini, sedangkan bangsa-bangsa lain tidak turut serta, maka cita-cita ini tidak akan tercapai.

Tapi bagaimanapun itulah cita-cita kita, itulah dasar hidup kita, harga menghargai.

Jikalau ada suatu bangsa yang mau menghina kita, kita tidak ingin bersahabat dengan dia. Kita hanya bersahabat jikalau ada saling harga menghargai.

Kedua, selain dari Ketuhanan Yang Maha Esa, kita menuntut pula penghargaan manusia sebagai makhluk. Kita harus pula menjalankan segala usaha dengan kesucian hati dan perbuatan. Kalau tidak maka kita tidak sanggup memimpin negara kita ke jalan kemajuan. Ini juga adalah kelanjutan dari dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dasar yang kedua ialah dasar Perikemanusiaan. Dasar Perikemanusiaan ini tidak lain dari penyelenggaraan dan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Di dalam prakteknya selain dari itu kita juga mencapai perhubungan antara manusia dengan manusia, umpamanya perhubungan antara majikan dengan buruh. Kita tidak bisa mengizinkan suatu hubungan yang berdasarkan perbudakan. Ini tidak saja mengenai majikan asing, tetapi juga antara kita sama kita. Kita mengingini penghargaan terhadap buruh sebagai seorang manusia.

Selain dari itu hubungan antara kapital dengan buruh yang nanti akan saya bentangkan lebih jauh. Pokoknya di dalam hubungan antara kapital dengan buruh kita harus menyelenggarakan dan mencapai perikemanusiaan, supaya penghidupan buruh semakin hari semakin baik.

Dasar yang ketiga ialah Kebangsaan. Yang pertama kali ialah pengakuan bahwa kita adalah bangsa yang satu. Saudara-saudara barangkali masih ingat dengan janji dan sumpah pemuda pada tahun 1928 yang mengakui bahwa kita hanya berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia, berbahasa satu yaitu bahasa persatuan Indonesia Inilah yang kita selenggarakan di dalam proklamasi. Negara kita bukanlah negara yang berpecah-pecah. Tentang susunan ke dalam kita bisa bertukar pendapat, ada yang menganggap susunan federasilah yang baik dan ada yang menganggap negara kesatuanlah yang terbaik. Tetapi bagaimanapun, dalam menghadap ke luar kita tetap satu. Dasar persatuan kebangsaan harus diselenggarakan, karena kita tidak mau diadu-domba.

Kita hanya satu bangsa, satu tanah air. Inilah kelanjutan dari dasar kebangsaan.

Selanjutnya negara kita adalah negara nasional, bukan negara internasional. Dan kita harus mempertahankan dasar ini, yang akan memberikan kedaulatan di tangan rakyat kita sendiri. Kalau kita mengakui negara kita ini negara internasional, maka kedaulatan tidak berada di tangan rakyat, tetapi berada di tangan orang, organisasi atau negara di luar kita. Dasar dari kebangsaan ini ialah satu pengakuan bahwa negara kita ini adalah negara nasional, yang menentang semua ideologi yang akan membawa penjajahan asing, penjajahan yang datangnya dari ideologi penjajahan dari satu negara atau penjajahan dari satu bangsa. Kita harus mengakui adanya kedaulatan di tangan negara kita. Hal ini saya tegaskan supaya kita dapat memelihara tanah pusaka, supaya kemerdekaan kita kekal.

Memang ada aliran, yang mau menaklukkan kita ke dalam kekuasaan asing. lni mesti kita tentang. Kita sudah berjuang mati-matian untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda, dan kita tidak ingin dijajah kembali, walau di mana pun juga pusatnya penjajahan itu.

Dasar yang keempat ialah Kerakyatan atau kedaulatan rakyat yang sering dikatakan demokrasi. Demokrasi adalah dasar dari cita- cita rakyat. Untuk menyelenggarakan cita-cita itu kita mengadakan pemerintahan negara yang berdasarkan parlemen yang dipilih dari waktu ke waktu, supaya rakyat bisa mengkontrolnya. Jikalau anggota parlemen diangkat seumur hidup, terhadap dia tidak ada kontrol. Waktu dilakukan pemilihan ia mau memberikan janji-janji yang muluk. Untuk mengoreksi pekerjaan anggota parlemen, maka diadakan sistem pemilihan sewaktu-waktu. Pada tiap negara demokrasi dapat dilihat adanya sistem pemilihan sewaktu-waktu supaya rakyat bisa memutuskan tentang siapa yang akan diutus duduk di dalam parlemen.

Pemerintah juga terdiri dari golongan yang terbanyak dalam parlemen. Memang da- sar ini belum sempurna kita selenggarakan. Demokrasi kita baru tumbuh. Dalam penja- jahan asing kita belum mempunyai demokrasi, dan kita baru mencoba menum- buhkan demokrasi. Untuk mencapai jalan yang sebaik-baiknya dapat diselenggarakan, jikalau kita mempunyai rasa tanggungjawab atas diri sendiri, karena kelanjutan atau syarat, dari demokrasi pada rakyat harus diletakkan rasa tanggung jawab untuk tidak mengutus siapa-siapa saja yang dapat memberikan janji-janji yang baik. Pemerintah demokrasi ialah pemerintah yang bertanggung jawab terhadap DPR dan DPR bertang- gung jawab pula kepada rakyat. Adalah kewajiban bagi kita untuk mempertebal rasa tanggung jawab ini antara satu sama lainnya, untuk menyelenggarakan demokrasi yang sebaik-baiknya.

Sistem otonomi adalah penyelenggaraan sistem pemerintahan rakyat dengan mendekatkan pertanggungan jawab kepada rakyat. Jikalau di pusat saja diadakan demokrasi, maka kontrol dari rakyat jauh sekali dan tidak langsung.

Juga di dalam menyelenggarakan ini terdapat kesulitan dan entah berapa lama lagi kita harus menyusun negara kita supaya demokrasi berjalan baik. Jikalau terlalu banyak tingkatan demokrasi akan timbul kekacauan. Untuk sementara kita mengambil 4 tingkat, yaitu pusat, pemerintahan provinsi, pemerintahan kabupaten dan pemerintahan desa. Demokrasi yang lebih dekat kepada rakyat ialah dalam pemerintahan desa. Di dalam pemerintahan desa, hampir seluruh orang desa dapat memutuskan apa yang baik bagi mereka. Di dalam mengadakan 4 tingkat demokrasi ini usaha kita berlain-lainan. Umpamanya perundingan di desa mengenai semata-mata kepentingan desa membicarakan pembikinan tempat mandi, membersihkan saluransaluran air dan memberikan hak-hak otonomi bagi yang bisa diurus dalam lingkungan yang lebih kecil.

Pemerintahan desa bukanlah tempatnya mempersoalkan apakah Indonesia masuk ke dalam UNO atau tidak. Ini perlu sekali diperhatikan, karena pernah pada tahun 1947 ketika saya mengelilingi Sumatra Timur desa desa ikut memperbincangkan soal Linggarjati. Politik luar negeri tempatnya adalah di parlemen.

Pada waktu ini kita belum mempunyai undang-undang dan peraturan yang membagi kekuasaan masing-masing. Sedikit hari lagi tentu ada peraturan pembagian kekuasaan, supaya betul-betul rakyat melakukan pemerintahan sendiri untuk mengatur kepentingan sendiri.

Pusat otonomi kita nanti terletak di kabupaten. Sedangkan provinsi adalah badan yang mengkoordinasikan otonomi yang berada dalam lingkungannya. Besar pengharapan saya, supaya Saudara-saudara yang terpandang sebagai pemimpin rakyat maupun di dalam jabatan atau organisasi, supaya mematangkan rakyat dan merasakan tanggung jawab yang besar ini. Jikalau tidak dirasakan tanggung jawab ini, maka segala badan yang didirikan tidak akan berhasil. Inilah tujuan kerakyatan kita.

Demokrasi kita baru tumbuh, karena kita masih belum bisa meletakkan dasar kepartaian semata-mata. Misalnya tentang kabinet Natsir, yang tidak dapat kita namakan apakah kabinet parlementer, karena tidak semua aliran dari golongan-golongan yang ada di dalam parlemen duduk di dalamnya. Juga apakah ia dapat dinamakan zaken kabinet, karena di dalam zaken kabinet, kepartaian tidak perlu diperhatikan.

Ada yang mengatakan ekstra parlementer kabinet, dan bagi saya inilah yang lebih dekat. Kabinet yang disebut ekstra parlementer kabinet adalah bertanggung jawab kepada parlemen, tetapi susunan orangnya tidak langsung dari anggota-anggota yang terkemuka dari partai-partai. Mungkin susunan pemerintahan sekarang ini dapat dikatakan ekstra parlementer kabinet, karena kabinet dibentuk di atas perembukan partai-partai yang menyusunnya. Sudah nyata bahwa masih tidak sesuai 100 persen dengan kabinet parlementer, karena pada umumnya kepartaian belum lagi mendalam di kalangan rakyat dan belum mempunyai ahli-ahli yang cakap yang terkenal politisi. Di Inggris semua yang duduk di dalam parlemen adalah orang-orang ahIi. Tetapi intelektual kita belum begitu maju, sehingga partai-partai belum ada yang mempunyai ahli di dalam lapangan sosial, di lapangan keuangan, pengajaran dan lain-lain. SebaIiknya yang mempunyai keahlian tidak mempunyai partai, demikian menurut kebanyakannya, sehingga sukar bagi seorang perdana menteri memilih susunan kabinet dari semua partai.

Di Inggris, Ernest Bevin, bukanlah seorang ahli, tetapi ia seorang yang kuat di dalam partai. Tidak begitu sulitnya karena departemen-departemen di Inggris telah lengkap dan dapat berjalan. Di Prancis kontak antara menteri dengan parlemen sangat sedikit, karena kabinetnya sering sekali berubah-ubah. Ada umur kementerian yang hanya 3 hari, ada yang sampai 1 bulan dan malahan sebelum Perang Dunia II ada dewan kementerian yang berumur 1 hari. Sudah teranglah dengan berubah-ubahnya susunan kabinet itu, jikalau semua kementerian bergantung pada menteri, pekerjaan kementerian tidak akan berjalan. Dalam keadaan yang seperti itu kekuasaan pegawai sangat besar. Menteri hanyalah memberikan beleid umum yang menjadi dasarnya kementerian-kementerian. Dalam pimpinan harian, kabinet tidak banyak turut mencampuri.

Dalam kehidupan sekarang ini tuntutan terhadap menteri sangat sulit, karena kita baru bekerja dengan pegawai-pegawai yang tidak cukup. Tidak heran jikalau pegawai tinggi dalam kementerian terpaksa mengalami overwerk (artinya kerja lembur), terpaksa pulang membawa map untuk mengerjakan yang tidak bisa dikerjakan di kantor, sehingga menteri-menteri pada umumnya kekurangan waktu. Jadi jikalau ada menteri yang overwerk atau beristirahat, itu bukanlah ganjil. Sebagai akibat kekurangan tenaga maka banyak soal yang harus diurus sendiri oleh menteri, sehingga menteri-menteri kita dituntut pula harus mempunyai keahlian. Kita terpaksa pula mempergunakan tenaga asing yang tentunya memakan biaya yang besar, karena mereka tidak mau dibayar menurut schaal kita.

Sekarang nyatalah bagi Saudara-saudara bahwa untuk menjalankan demokrasi haruslah dengan mempertebal tanggung jawab di dalam diri sendiri. Dan yang paling penting ialah di dalam segala usaha haruslah ada kejujuran. Jangan hanya mencari kemenangan dengan menegakkan benang basah, jangan melakukan oposisi saja, tetapi maunya secara gentleman. lnilah yang mesti kita selenggarakan, yaitu politik yang berdasar kejujuran dan kesucian. Kalau tidak pemerintahan demokrasi kita akan menjadi anarki.

Tidak sembarang orang yang bisa menjadi seorang politikus. Seorang profesor yang pintar umpamanya, masih belum tentu dapat menjadi seorang politikus. Politikus menuntut adanya kecakapan yang tersendiri. Dan sebaliknya ada orang dapat menjadi seorang staatsman, karena staatsman menghendaki tuntutan yang lain pula. Seorang politikus bisa memperjuangkan cita-cita yang menjadi prinsipnya di dalam parlemensecara setajam-tajamnya. Tetapi sebaliknya seorang staatsman tidak boleh berbuat seperti itu. Kita umpamakan jikalau satu partai yang menjalankan pemerintahan, ia tidak boleh menjalankan pemerintahan itu menurut prinsipnya sendiri. Contoh seperti ini dapat dilihat dengan Labour Party di Inggris.

Jikalau sebagai pemerintah sekarang dipakai main prinsip-prinsipan maka pada pemerintahan yang akan datang dasar yang dipakai sekarang ini terpaksa diubah. Pemerintah di dalam dasarnya sering mengambil jalan tengah.

Selain dari itu tuntutan terhadap pegawai berlainan pula, karena tuntutan yang terpenting bagi seorang pegawai ialah keahlian. Pegawai harus mendapat kesempatan mengerjakan keputusan-keputusan yang telah diambil oleh pemerintah. Untuk dijadikan seorang pegawai ada tuntutan yang istimewa, yaitu mempunyai kecakapan di dalam pekerjaannya sendiri. Tidak sembarang orang yang bisa mengepalai rumah sakit, atau mendatangkan kemakmuran umpamanya, karena ia menghendaki pengetahuan di dalam bagiannya masing-masing. Dan pula sebaliknya tidak semua pegawai yang cakap bisa menjadi seorang staatsman atau politikus.

Sebab itulah salah sekali jikalau seorang pegawai yang cakap di dalam jabatannya lalu diambil menjadi menteri, sedangkan kehidupan seorang menteri adalah tidak kekal. Sesudah habis ia menjadi menteri maka pekerjaannya akan terlantar. Dalam menuruti tiga kategori ini, kita harus memilih yang sebaik-baiknya dan mengambil perbedaan yang jelas dari padanya. Kita di dalam hal ini banyak sekali telah berbuat kesalahan, sehingga ada terjadi seorang pegawai yang ahli dijadikan menteri. Kejadian ini adalah juga sebagai lanjutan dari tuntutan demokrasi kita.

Dasar yang kelima ialah Keadilan Sosial. Supaya di dalam masyarakat kita ini kita mencapai suatu masyarakat yang mempunyai keadilan sosial, terutama haruslah kita mencapai demokrasi di dalam ekonomi. Kita harus menyelenggarakan supaya di dalam perusahaan-perusahaan buruh mendapat kedudukan yang pantas sesuai dengan pekerjaannya. Selain dari itu kita harus pula menyebarkan pengetahuan kebudayaan yang seluas-luasnya di kalangan rakyat, sehingga rakyat mempunyai kultur, supaya kultur itu tidak terbatas pada kaum intelektual dan supaya rakyat yang berada di gunung dan pelosok desa pada satu kali dapat mengecap listrik dan radio. Ke puncak gunung yang paling tinggi di mana ada hidup rakyat kita, hendaknya dapat dialirkan kecerdasan manusia. Cita-cita ini pada satu kali mesti tercapai.

Selain dari itu suatu jaminan sosial terhadap buruh, penghidupan buruh, harus terpelihara pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Jaminan sosial ini sudah menjadi dasar internasional dan sudah disempurnakan di negara-negara yang modern, yaitu buruh bergantung dengan upahnya, menyimpan satu atau setengah persen dari pendapatannya pada tiap bulan, dan majikan memikul sebagiannya yang akan menghasilkan fonds pensiun bagi buruh tadi. Jaminan sosial terhadap anak dan istri buruh harus menjadi tuntutannya dari dasar negara kita. Inilah yang menjadi dasar dari negara kita.

Inilah dasar-dasar yang menjadi tujuan negara kita. Jikalau kita dapat berpegang kuat kepada dasar ini, maka kita akan dapat mencapai tujuan yang menjadi cita-cita kita; yaitu suatu Indonesia yang adil dan makmur, supaya rakyat dapat mengecap keadilan masyarakat dan kemakmuran di rohani dan jasmani.*) Dikutip dari “Pancasila Harus Dipegang Teguh”, pidato wakil presiden Dr. Mohammad Hatta pada rapat terbatas di Pematang Siantar, 22 November 1950.